TEORI
TABULARASA DAN PERILAKU VERBAL
Disusun Oleh :
1.
Fatimah Azzahra Mutmainnah 12420007
2.
Siti Mariam 12420008
3.
Sri Muliati 12420011
4.
Eka Mardiana Rosila 12420017
5.
Roihatul Jannah
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil
menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul
“Teori; Tabularasa dan Perilaku Verbal”.
Makalah ini berisikan tentang teori tabularasa dan teori perilaku verbal, implikasinya
dalam pengajaran beserta dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing
dengan harapan bahwa makalah ini bisa memberikan informasi kepada pembaca, dan kita semua tentang kedua teori ini secara lebih mendalam.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal hingga akhir.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Yogyakarta, 11 November 2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Behaviorisme
didalam meneliti perilaku berhenti pada perilaku nyata (overt behavior)
tanpa mau menafsirkannya lebih jauh untuk menjelaskan sumbernya, karena menurut
tokohnya, tak ada yang perlu dilakukan terkait dengan perilaku tak nyata
seperti kesadaran. Berdasarkan sikap Behaviorisme itu maka madzhab psikologi
ini menganut paham ampirisme-positivistik. Hal itu dapat dilihat pada cara atau
gerak langkah Behaviorisme didalam membangun hipotesis pemerolehan bahasa ibu
dan teori belajar secara umum. Penelitian empiris Behaviorisme terhadap dua hal
tersebut telah menghasilkan dan menyimpulkan bahwa kanak-kanak memperoleh
bahasa pertamanya dengan cara yang sama dengan orang dewasa belajar behasa
kedua atau asing.
Proses
penguasaan suatu bahasa bersifat kompleks dan rumit. Hasil studi selama
berpuluh-puluh tahun yang sebagian besar berupa hipotesis-hipotesis menunjukkan
hal tersebut.[1]
Di makalah ini, penulis akan memaparkan hasil studi behavioristik yang
berkaitan dengan teori pemerolehan
bahasa, yakni teori tabularasa dan teori perilaku verbal. Pemerolehan
yang dimaksudkan disini adalah pemerolehan yang dibedakan dengan belajar.
Pemerolehan terkait dengan penguasaan secara tak sadar terhadap suatu bahasa
yang umumnya terjadi pada kanak-kanak terhadap bahasa pertamanya, sedangkan
belajar adalah penguasaan secara sadar terhadap bahasa yang umumnya dilakukan
oleh siapa saja baik orang dewasa, remaja maupun anak-anak terhadap bahasa
kedua atau bahasa asing.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan teori tabularasa?
2.
Jelaskan kelebihan dan kekurangan teori tabularasa?
3.
Apa yang dimaksud dengan teori perilaku verbal!
4.
Jelaskan kelebihan dan kekurangan teori perilaku verbal!
5.
Bagaimana implikasi teori dalam pengajaran?
BAB II
PEMBAHASAN
a) Teori
Tabularasa
Tabularasa
secara harviah berarti ‘kertas kosong’, dalam arti belum tentu ditulisi
apa-apa. Tabula rasa
berasal dari bahasa Latin, yang berarti
kertas kosong. Teori tabularasa adalah teori yang menyatakan bahwa setiap
individu yang baru dilahirkan itu dapat diumpamakan sebagai kertas putih yang
belum ditulisi (a sheet ot white paper avoid of all characters), dengan
jiwa yang putih bersih, suci, tanpa mental bawaan. Seluruh sumber pengetahuan
diperoleh sedikit demi sedikit melalui pengalaman dan persepsi alat inderanya
terhadap dunia di luar dirinya. Teori Tabularasa merupakan pandangan behavioristik ekstrim yang mengklaim
bahwa kanak-kanak memasuki dunia nyata dengan suatu tabula rasa, suatu batu
tulis kosong yang tidak mengandung nosi-nosi bawaan (preconceived)
tentang dunia atau tentang bahasa, dan bahwa kanak-kanak ini kemudian dibentuk
oleh lingkungan mereka dan secara lamban terkondisikan melalui beragam skedul
penguatan.
Umumnya para pendukung pandangan tabularasa
akan melihat bahwa pengalamanlah (lingkungan) yang akan menjadikan anak itu
baik atau buruk, pengalamanlah (lingkungan) yang berpengaruh terhadap
kepribadian, perilaku sosial dan emosional, serta kecerdasan. Jadi, sejak lahir anak itu mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa.
Anak dapat dibentuk sekehendak pendidiknya. Di sini kekuatan ada pada pendidik.
Pendidikan dan lingkungan berkuasa atas pembentukan anak.
Gagasan mengenai teori ini banyak dipengaruhi oleh pendapat John
Locke di abad 17. Dalam filosofi Locke, tabula rasa adalah teori bahwa pikiran
(manusia) ketika lahir berupa “kertas kosong” tanpa aturan untuk memproses
data, dan data yang ditambahkan serta aturan untuk memprosesnya dibentuk hanya
oleh pengalaman alat inderanya. Selain itu ia juga menekankan tentang kebebasan
individu untuk mengisi jiwanya sendiri. Setiap individu bebas mendefinisikan
isi dari karakternya namun identitas
dasarnya sebagai umat manusia tidak bisa ditukar. Dari asumsi tentang jiwa yang
bebas dan ditentukan sendiri serta dikombinasikan dengan kodrat manusia inilah
lahir dokktrin Lockean tentang apa yang disebut alami.
Pendapat John Locke seperti di atas dapat disebut juga empirisme,
yaitu suatu aliran atau paham yang berpendapat bahwa segala kecakapan dan
pengetahuan manusia itu timbul dari pengamalan (empirik) yang masuk melalui
alat indera. Kaum behavioris juga berpendapat senada dengan teori tabularasa
itu. Behaviorisme tidak mengakui adanya pembawaan dan keturunan, atau
sifat-sifat yang turun-temurun. Semua Pendikan, menurut behaviorisme adalah
pembentukan kebiasaan, yaitu menurut kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di dalam
lingkungan seorang anak.
Dalam bidang pendidikan, John Locke menganjurkan pengamatan
gejala-gejala psikis. Menurutnya segala sesuatu melalui pengalaman inderawilah
helai-helai kertas itu diisi Artinya pengamatan dengan pancaindera akan mengisi
jiwa dengan kesan-kesan (sensation) yang dengan jalan sistesis, analisis
dan perbandingan diolah menjadi pengetahuan (reflexion).
Menurut teori ini, semua pengetahuan (dalam manusia) yang nampak
dalam perilaku berbahasanya merupakan hasil perpaduan peristiwa-peritiwa
linguistik yang dialami dan diamati olehnya. Yang dimaksud dengan yang
dialami dan diamati ialah bahwa apa yang tidak dialami atau diamati tidak
akan pernah menjadi bagian dari pengetahuan linguistik seseorang.[2]
Behaviorisme menganggap bahwa pengetahuan linguistik hanya terdiri
dari rangkaian hubungan-hubungan yang dibentuk dengan cara pembelajaran S - R
(Stimulus - Respons). Cara pembelajaran S – R yang termuka adalah pelaziman klasik,
pelaziman operan, dan mediasi atau penengah yang telah dimodifikasi menjadi
teori-teori pembelajaran bahasa.
Teori pembelajaran bahasa pelaziman operan menyatakan bahwa
perilaku berbahasa seseorang dibentuk oleh serentetan ganjaran yang bermacam-macam
dan muncul di sekitar orang tersebut. Seorang anak yang sedang memperoleh
sistem bunyi bahasa ibunya, awalnya ia akan “mengucapkan” semua bunyi yang ada
di lingkungan ibu dari anak tersebut. Lalu anak itu akan menggabungkan
bunyi-bunyi yang telah diucapkan itu dan menirukan ucapan orang tuanya. Jika,
ucapan-ucapan yang ia tirukan benar, maka si anak akan mendapatkan sebuah
“hadiah” berupa senyuman, tawa, ciuman, cubitan gemas, dan sebagainya. Dapat
dikatakan bahwa bahasa anak-anak itu berkembang secara bertahap, mulai dari
bunyi, kata, frasa, hingga kalimat. Perkembangan kemampuan berbahasa tadi juga
didukunang dengan hadiah-hadiah dan ganjaran, sehingga menjadi tabiat dari anak
tersebut. Tabiat-tabiat seperti yang dituliskan pada “kertas kosong” tabularasa
otak anak-anak.
Pemerolehan bahasa menurut teori tabularasa tidak akan dapat
menjelaskan faktor kreatifitas dalam penggunaan bahasa. Tidak mungkin semua
kalimat yang diucapkan anak-anak telah dituliskan terlebih dahulu dalam
tabularasa otak si anak. Setiap kalimat yang diucapkan adalah kalimat baru,
kecuali peribahasa atau ungkapan seperti “selamat pagi”, “keras kepala”, dan
“membanting tulang”.
b) Kelebihan dan
Kekurangan Teori Tabularasa
Kelebihan teori
ini yaitu anak dapat dibentuk sekehendak pendidiknya. Di sini kekuatan ada pada
pendidik. Pendidikan dan lingkungan berkuasa atas pembentukan anak. Sedangkan
kekurangan dari teori ini adalah jika diterapkan dalam pendidikan, akan
menjadikan pendidikan yang disebut sebagai teacher center, artinya pendidik
sebagai sumber ilmu pengetahuan dan dianggap sebagai orang yang paling
berpengaruh terhadap baik buruknya seorang anak. Hal ini akan mematikan
kreatifitas anak.
Di sisi lain,
hal ini akan menafikan pendapat para peneliti genetika perilaku yang telah
menemukan bukti-bukti yang meningkat bahwa hingga taraf tertentu, kemampuan
kognitif, sifat kepribadian, orientasi seksual dan gangguan kejiwaan
dipengaruhi oleh faktor genetik. Keberadaan atau ketiadaan gen tertentu memang
tidak secara otomatis mengakibatkan perilaku tertentu, tetapi gen lebih member
predisposisi (kesiapan) untuk merespon lingkungan dengan cara tertentu dan
bahkan mencari jenis lingkungan tertentu pula. Tidak diketahui adalah sejauh
mana gen mengendalikan tingkah laku.
c) Teori Perilaku
Verbal
Apa yang dikemukakan pada teori Tabularasa diterima sepenuhnya oleh
Behaviorisme yang menganggap bahwa bahasa adalah perilaku dan perilaku sekarang
bersumber dari pengalaman masa lalu, suatu pengalaman sebagai hasil
pengkondisian yang berwujud rangkaian S-R-R (stimulus-respons-reinforcement).
Teori Pengkondisian Operan oleh
Skinner misalnya menyatakan bahwa perilaku berbahasa seseorang sama saja dengan
perilaku lainnya terbentuk melalui rangkaian stimulus-response-penguatan, atau
dengan kata yang lebih detail, perilaku bahasa seseorang terbentuk oleh
serentetan penguatan (reinforcement) yang beraneka ragam yang muncul dan
dialami oleh orang tersebut.
Seorang
kanak-kanak yang sedang memperoleh bahasa pertamanya, akan melalui beberapa
tahap mulai dari bunyi atau berceloteh (babling period) , kemudian suku
kata, kata, frasa, dan kalimat. Sang ibu menanggapinya hanya dengan bunyi-bunyi
yang ada pada bahasa yang ia tahu yang umumnya berupa bahasa pertama atau asli.
Maka dengan demikian si bayi hanya dikondisikan untuk menirukan bunyi-bunyi
yang ada pada bahasa ibunya saja. Bila peniruannya atau responsnya benar atau
mendekati benar sang ibu akan memberikan penguatan dengan senyuman,
ciuman, tawa atau yang paling sering adalah tindakan, seperti kata “mik” (minta
minum sebagai respons dari rasa haus) ditanggapi atau diberi penguat oleh sang
ibu dengan menyusui atau memberikan sedotan. Perilaku-perilaku berbahasa yang
berpenguat inilah yang dicatat pada “kertas kosong” tabularasa otak kanak-kanak
menurut teori tabularasa yang didalam umur empat sampai enam tahun sudah
‘menguasai’ bahasa aslinya.
Menurut Skinner
perilaku verbal, sama dengan perilaku lainnya, dikendalikan oleh
konsekuensi-konsekuensinya. Perilaku verbal
adalah perilaku yang dikendalikan oleh akibatnya (konsekuensinya). Jika
konsekuensi tersebut kuat atau dapat menguatkan, perilaku akan dipertahankan
dan dapat meningkat kekuatannya. Perilaku verbal kanak-kanak yang berpenguat
tidak hanya berupa perilaku menghasilkan (production) response-response
linguistik, tapi juga perilaku memahami (comprehension), seperti
mendengar dan kemudian membaca, walaupun pemahaman itu sedikit berbeda dengan
kenyataan (lingkungan) yang dapat diamati secara terbuka seperti pengucapan.
Seseorang belajar memahami ucapan dengan merespons ucapan itu secara tepat, dan
dengan diberi penguatan lantaran responsnya itu.
Misalnya jika
akibatnya (konsekuensinya) itu hadiah, perilaku itu akan terus dipertahankan. Kekuatan
serta frekuensinya akan terus dikembangkan. Bila akibatnya (konsekuensinya)
hukuman, atau bila kurang adanya penguatan, perilaku itu akan diperlemah atau
pelan-pelan akan disingkirkan. Sebagai contoh dapat kita saksikan perilaku
anak-anak disekeliling kita. Ada anak kecil menangis meminta es pada ibunya.
Tetapi, karena ibunya yakin dan percaya bahwa es itu menggunakan pemanis buatan
maka sang ibu tidak meluluskan permintaan anaknya. Sang anak terus menangis.
Tetapi sang ibu bersikkukuh tidak menuruti permintaannya. Lama kelamaan tangis
anak tersebut akan reda dan lain kali lain tidak akan minta es semacam itu lagi
kepada ibunya, apalagi dengan menangis, Seandainya anak itu kemudian dituruti
keinginannya oleh ibunya, apa yang terjadi? Pada kesempatan yang lain sang anak
akan minta es lagi. Apabila ibunya tidak meluluskannya maka ia akan menangis
dan terus menangis sebab dengan menangis ia akan mendapatkan es. Kalau ibunya
memberi es lagi maka perbuatan menangis itu dikuatkan. Pada kesempatan lain dia
akan menangis manakalaia meminta sesuatu pada ibunya.
Apa yang
dikemukakan Skinner di atas diiliustrasikan dengan baik oleh Blomfield (1993)
dengan Jack, Jill dan buah apel. Mula-mula Jill merasa lapar dan ia melihat
apel di atas pohon (stimulus). Jill mengeluarkan bunyi dengan larings, lidah,
dan memberikannya pada Jill. Kemudian Jill memakan buah apel yang ternyata enak
(penguat).
Untuk
menggambarkan perilaku verbal Skinner menyatakan bahwa struktur bahasa
merupakan rantaian (peristiwa) asosiatif. Satu kata didalam kalimat merupakan
respons dari kata sebelumnya dan stimulus bagi kata sesudahnya begitu pula
halnya dengan kalimat yang merupakan respons dari kalimat sebelumnya dan
stimulus bagi kalimat sesudahnya. Kata “haus” pada ungkapan “Saya haus sekali”
misalnya merupakan response bagi kata “saya” dan stimulus bagi kata “sekali”.
Untuk menjelaskan hal tersebut Skinner memperkenalkan sekumpulan kategori
respons atau perilaku berbahasa yang hampir serupa fungsinya dengan ucapan
yaitu mands, tacts, echois, textuals, autoclitic
behavior, dan intra verbal operant.
a.
Mands
Kata mands
adalah akar kata dari comand, demand, dan lain-lain. Satu mand adalah
satu operan bahasa dibawah pengaruh stimulus yang bersifat menyingkirkan,
merampas, atau menghabiskan. Mand muncul sebagai kalimat impratif, permohonan
atau rayuan, hanya apabila penutur ingin mendapatkan sesuatu.
Hal ini mungkin
karena dahulu kalimat seperti ini pernah diamati oleh penutur digunakan
seseorang ketika ia ingin mendapatkan kembali sesuatu yang dirampas,
disingkirkan, atau diambil (manded) dari dirinya. Umpamanya kalau seorang anak
mengucapkan kata “susu”, besar kemungkinan ia mengucapkan kata itu lantaran
adanya rasa haus (stimulus yang merampas sesuatu dari anak tersebut), dan dulu
ia pernah mengalami atau mengamati bahwa kata tersebut sangat ampuh
menggerakkan kaki orangtuanya untuk mengambilkan cairan putih yang manis
rasanya (penguat). Jadi mand memerlukan satu intraksi khusus antara pengalaman
masa lalu yang serupa, respons bahasa, perilaku orang yang menguatkan, dan
jenis penguatan.
Skinner (1957) mengatakan, “Mand dicirikan oleh hubungan unik
antara bentuk respons dengan penguatan yang secara khas diterima dalam
komunikasi verbal tertentu. Terkadang untuk menyebut relasi ini kita bisa mengatakan
bahwa sebuah mand “menspesifikasikan” penguatannya. “Dengar! Lihat! Stop! Dan
katakana ya! Adalah ucapan yang ditunjukan untuk menentukan perilaku
pendengarnya; namun ketika seorang yang lapar berteriak meminta, “Roti! atau
“tambah supnya!” dia sedang menentukan penguat utama. Kedua perilaku dari
pendengar dan penguatan utama itu sering dispesifikasikan. Mand “tambah
garam!”, misalnya, menspesifikasikan tindakan (menambah) dan penguatan utama
(garam).
b.
Tacts
Tact adalanh
menamai atau menyebut nama sesuatu benda atau peristiwa (respons) yang muncul
karena melihat atau mengamati benda atau peristiwa tersebut (stimulus), seperti
menyebut kata “mobil” dikala melihat gerobak bermesin yang dapat berlari cepat.
Skinner (1957) mengatakan, “contoh tipe operan ini adalah ketika
yang berhadapan dengan boneka, sering mendapat sejenis penguatan umum dengan
mengatakan boneka. Tidak ada istilah yang memadai untuk tipe operan ini.
“tanda”, “simbol”, dan istilah teknis dari logika dan semantik mengingatkan
kita pada skema referensi khusus dan menekankan respons verbal itu sendiri.
Istilah “tact” akan dipakai disini. Istilah ini mengandung kesan mnemonik (mnemonic)
dari perilaku yang “membuat kontak dengan” dunia fisik. Suatu tact bisa
didefinisikan sebagai operan verbal diamana suatu respon bentuk tertentu
dimunculkan (atau setidaknya diperkuat) oleh objek atau properti atau kejadian
tertentu.
Secara umum, tact adalah penamaan objek atau kejadian di lingungkan
dengan tepat, dan penguatannya berasal dari pengutan kesesuain antara
lingkungan dan perilaku verbalseseorang.
c.
Echois
Adalah perilaku verbal yang diperkuat saat perilaku verbal orang
lain diulang secara verbatim (persis kata demi kata). Echoic behavior sering
merupakan prasyarat oleh perilaku verbal yang lebih kompleks; misalnya, seorang
anak pertama-tama harus menirukan suatu kata sebelum itu bisa belajar cara
menghubungkan kata itu dengan kata lain atau dengan suatu kejadian. Jadi,
tindakan mengulangi sesuatu yang dikatakan orang lain akan diperkuat, dan ketika
respon ini sudah dikuasai, ia akan memungkinkan pembicara untuk mempelajari
lebih banyak hubungan verbal yang kompleks.
Echoics
merupakan respons berbentuk gemaan
dalam diri kita karena adanya suatu stimulus. Gemaan itu terjadi karena kita
pernah mendengar seseorang mengucapkan kata
tertentu setelah melihat stimulus yang sama seperti yang kita lihat atau amati
sekarang, seperti kata “becak” menggema di dalam diri kita setelah melihat
kendaraan beroda tiga tanpa mesin, karena dulu pernah seseorang mengucapkan
kata itu tatkala melihat hal yang sama.
d.
Textual
Textual adalah
perilaku berbahasa yang diatur oleh stimulus tertulis sedemikian rupa seghingga
bentuk perilaku itu mempunyai korelasi dengan bahsa yang tertulis itu. Korelasi
yang dimaksud adalah hubungan sistematik antara sistem penulisan (ejaan) suatu
bahasa dengan respons ucapan apabila membacanya secara langsung. Jadi, apabila
kita melihat tulisan <kucing> sebagai stimulus maka kita memberi respons
(kucik).
e.
Autoclitic Behavior
Menurut Skinner, “istilah autoclitic dimaksudkan untuk menunjukkan
perilaku yang didasarkan pada, atau bergantung pada perilaku verbal lain”.
Fungsi utama autoclitic behavior adalah untuk mengkualifikasikan respons,
mengekspresikan relasi, dan menyediakan kerangka gramatikal untuk perilaku
verbal.
f.
Intraverbal Operant
Intra verbal
operant adalah operant berbahasa yang diatur oleh perilaku berbahasa terdahulu
yang dilakukan atau dialami oleh penutur. Umpamanya, kalau sebuah kata
dituliskan sebagai stimulus, maka kata lain yang ada hubungannya dengan kata
itu akan diucapkan sebagai respons. Kata meja miasalnya akan
membangkitkan kata kursi. Begitu juga kata terimakasih sebagai
stimulus akan membangkitkan kata kembali sebagai responsnya.[3]
d) Kelebihan dan
Kekurangan Teori Perilaku Verbal
Kelebihan Teori perilaku verbal
gagasan Skinner yaitu seorang pendidik atau orang tua akan lebih mudah untuk
mengatur anaknya. Karena perilaku verbal adalah perilaku yang dikendalikan oleh
akibatnya (konsekuensinya). Jika konsekuensi tersebut kuat atau dapat
menguatkan, perilaku akan dipertahankan dan dapat meningkat kekuatannya.
Misalnya jiak akibatnya (konsekunsinya) itu hadiah, perilaku itu akan
dipertahankan. Kekuatan serta
frekuensinya akan terus dikembangkan. Bila akibatnya konsekuensinya) hukuman,
atau bila kurang adanya penguatan, perilaku itu akan diperlemah atau
pelan-pelan akn disingkirkan.
Namun teori skinner juga memuai
kritik diantaranya dari Noam Chomsky (1959) seseorang tidak selalu mengenakan
sesuatu karena dapat hadiah atau penguat di masa lalu, ungkapan Chomsky. Manusia mampu mengungkapkan sebagai misal
kalimat “baju hijau tak berwarna itu baru”, padahal kalimat demikian tidak
pernah ia dengar atau diberi penguat di masa lalu. Pernyataan Skinner yang lain
bahwa struktur bahasa merupakan suatu rangkaian assosiatif dimana satu kata
dalam kalimat (atau satu aklimat di dalam satu paragraf) merupakan stimulus
bagi kata (atau kalimat) berikutnya (dan respons bagi kata atau kalimat
sebelumnya) juga dibantah oleh Chomsky dengan contoh kalimat “ the man who sang
was a singer”. Dalam kalimat tersebut, kata was lebih dekat dihubungkan ke kata
man dari pada ke kata sang. Begitu pula dengan pernyataan Skinner bahwa bahasa
hanyalah performansi, tidak mengandung arti pengetahuan, disanggah oleh Chomsky
dengan mengemukakan contoh dari kalimat bermakna ganda “visiting relative can
be a nuisaance” (atau kata di dalam bahasa Arab dapat di contohkan dengan “إعطاء المريض صدقة سنة ) yang mau tak mau
pemahamannya akan melibatkan konsep pengetahuan. Selanjutnya ia mengatakan
bahwa proporsi terbesar dari apa yang kita ucapkan tergantung dari cari-ciri
situasi, khususnya situasi sosial dan pengetahuan masing-masing dari
pertisipan. Yang jelas tak ada mekanisme S-R yang tergambar pada
kerumitan-kerumitan (bahasa) ini.
Tidak seorangpun setuju bahasa
dengan model perilaku verbal verbal yang dikemukakan oleh Skinner tersebut akan
mampu menjelaskan secara memadai kemampuan memperoleh bahasa (oleh
kanak-kanak), perkembangan bahasa itu sendiri, sifat abstrak bahasa, atau teori
makna dan menerangkan kreatifitas bahasa. Dengan kata lain analisis mereka
tidak menjelaskan komponen linguistik (pengetahuan tata bahasa ) yang telah di
internalisasi oleh kanak-kanak dan disimpan dalam otaknya, dan bagaimana
kompetensi ini digunakan untuk membuat dan memahami kalimat-kalimat baru yang tidak pernah dibuat
sebelumnya.
Kegagalan teori perilaku verbal
tersebut mendorong pakar behavioristik lain untuk mengembangkan teori
pemerolehan bahasa prtama yang lain yang dapat menjelasakan tentang kreatifitas
bahasa. Diantaranya teori mediasi dan teori perantaian response.
Beberapa kekeliruan dalam penerapan
teori Skinner adalah penggunaan hukuman sebagai salah satu cara untuk
mendisiplinkan siswa. Menurut Skinner hukuman yang baik adalah anak merasakan
sendiri konsekuensi dari perbuatannya. Misalnya anak perlu mengalami sendiri
kesalahan dan merasakan akibat dari kesalahan. Penggunaan hukuman verbal maupun
firik seperti: kata-kata kasar, ejekan, cubitan, jeweran justru berakib buruk
pada siswa.
e) Implikasi Teori
dalam Pengajaran
Implikasi teori ini ialah bahwa guru harus berhati-hati dalam
menentukan jenis hadiah dan hukuman. Guru harus mengetahui benar kesenangan
siswanya. Hukuman harus benar-benar sesuatu yang tidak disukai anak, dan
sebaiknya hadiah merupakan hal yang sangat disukai anak. Jangan sampai anak
diberi hadiah menganggapnya sebagai hukuman atau sebaliknya, apa yang menurut
guru adalah hukuman bagi siswa dianggap sebagai hadiah. Contoh, anak yang suka
bermain sepakbola, akan menganggap pemberian waktu untuk bermain sepakbola
adalah hadiah, sebaliknya, melarang untu sementara waktu tidak bermain
sepakbola adalah hukuman yang menyakitkan.
Skinner menulis panjang lebar tentang bagaimana gagasan-gagasannya
dapat diaplikasikan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan. Ia yakin bahwa
ada terlalu banyak kontrol yang tidak dapat diinginkan. Meskipun siswa jarang
menerima hukuman fisik, mereka sering mengerjakan tugas bukan karena mereka
ingin belajar atau karena mereka menikmatinya, tetapi lebih disebabkan oleh keinginan
menghindari hukuman, seperti kritik dari guru, kehilangan hak-hak istimewa da
diminta menghadap ke kantor kepala sekolah.
Keprihatinannya yang kedua ialah bahwa penguatan jarang diberikan
di sekolah dan ketika diberikan sering pada saat yang tidak tepat. Guru
memperhatikan masing-masing siswa hanya selama beberapa menit setiap harinya.
Ketika siswa mengerjakan tugas dibangku mereka masing-masing, ada selang waktu
beberapa menit yang berlalu antara ketika mereka selesai mengerjakan tugas dan
ketika mereka menerima umpan balik dari guru. Akibatnya, siswa tidak belajar
secara benar, yang berarti bahwa guru harus mengalokasikan waktu untuk
memberikan umpan balik perbaikan.
Selain hal dua tadi,
perhatian Skinner yang lain adalah bahwa cakupan dan rangkaian
kurikulum-kurikulum tidak menjamin bahwa seluruh siswa akan berhasil memperoleh
keterampilan-keterampilan yang diajarkan. Para siswa tidak belajar dengan
kecepatan yang sama. Untuk dapat menyelesaikan seluruh materi, guru
kadang-kadang beralih kepelajaran lain sebelum semua siswa menguasai pelajaran
sebelumnya.
Menurut Skinner pengajaran akan lebih efektif jika:
1.
Guru memberikan materi dalam langkah-langkah yang lebih kecil
2.
Para siswa merespons secara aktif dari pada sekedar mendengarkan
secara pasif
3.
Guru memberikan umpan balik langsung setelah didapatkan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tabula rasa berasal
dari bahasa Latin, yang berarti
kertas kosong. Teori tabularasa adalah teori yang menyatakan bahwa setiap
individu yang baru dilahirkan itu dapat diumpamakan sebagai kertas putih yang
belum ditulisi (a sheet ot white paper avoid of all characters), dengan
jiwa yang putih bersih, suci, tanpa mental bawaan. Seluruh sumber pengetahuan
diperoleh sedikit demi sedikit melalui pengalaman dan persepsi alat inderanya
terhadap dunia di luar dirinya.
Menurut teori ini, semua pengetahuan (dalam manusia) yang nampak
dalam perilaku berbahasanya merupakan hasil perpaduan peristiwa-peritiwa
linguistik yang dialami dan diamati olehnya. Yang dimaksud dengan yang
dialami dan diamati ialah bahwa apa yang tidak dialami atau diamati tidak
akan pernah menjadi bagian dari pengetahuan linguistik seseorang.
Perilaku
verbal adalah perilaku yang dikendalikan oleh akibatnya (konsekuensinya). Jika
konsekuensi tersebut kuat atau dapat menguatkan, perilaku akan dipertahankan
dan dapat meningkat kekuatannya. Perilaku verbal kanak-kanak yang berpenguat
tidak hanya berupa perilaku menghasilkan (production) response-response
linguistik, tapi juga perilaku memahami (comprehension), seperti
mendengar dan kemudian membaca, walaupun pemahaman itu sedikit berbeda dengan
kenyataan (lingkungan) yang dapat diamati secara terbuka seperti pengucapan.
Seseorang belajar memahami ucapan dengan merespons ucapan itu secara tepat, dan
dengan diberi penguatan lantaran responsnya itu.Skinner memperkenalkan
sekumpulan kategori respons atau perilaku berbahasa yang hampir serupa fungsinya
dengan ucapan yaitu mands, tacts, echois, textuals, autoclitic behavior, dan intra verbal operant.
Implikasi teori ini ialah bahwa guru
harus berhati-hati dalam menentukan jenis hadiah dan hukuman. Guru harus
mengetahui benar kesenangan siswanya. Hukuman harus benar-benar sesuatu yang
tidak disukai anak, dan sebaiknya hadiah merupakan hal yang sangat disukai
anak. Jangan sampai anak diberi hadiah menganggapnya sebagai hukuman atau
sebaliknya, apa yang menurut guru adalah hukuman bagi siswa dianggap sebagai
hadiah. Contoh, anak yang suka bermain sepakbola, akan menganggap pemberian
waktu untuk bermain sepakbola adalah hadiah, sebaliknya, melarang untu
sementara waktu tidak bermain sepakbola adalah hukuman yang menyakitkan.
DAFTAR PUSTAKA
Syakur,Nazri. Proses
Psikologik dalam Pemerolehan dan Belajar Bahasa. Yogyakarta: Bidang
Akademik UIN SUNAN KALIJAGA 2008.
Chaer,
Abdul. Psikolinguistik. Jakarta:
Rineka Cipta, 2009.
Makalah
Teori Tabularasa dan Teori Perilaku Verbal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar