Pages

Kamis, 22 Oktober 2015

NADZARIYATUL WAHDAH (INTEGRATED SYSTEM) DALAM PEMBELAJARAN BAHASA ARAB

BAB II PEMBAHASAN
     1.            Pengertian

Dalam bahasa inggris sistem ini di kenal dengan integrated system atau all in one system. Dalam sistem ini, bahasa dipandan sebagai sesuatu yang utuh dan saling berhubungan, bukan sebagai bagian yang terpisah-pisah. Oleh karena itu, hanya ada satu mata pelajaran, yaitu bahasa arab, satu buku teks, satu evaluasi dan satu nilai hasil belajar[1].
Dalam kesatuan klasik islam, Nadzariyatul Wahdah pernah diperkenalkan oleh Abdul Abbas Al Mubarrad (pakar ilmu madzhab basrah, 826-896) dalam kitabnya Al Kamil. Dalam sistem tulisannya itu lebih dahulu disediakan teks bacaan kemudian diulasnya dari segi kebahasaan, nahwu, sharf dan lain-lain. Menurutnya dalam teori wahdah tidak membenarkan pengkhususan jamjam pelajaran khusus untuk suatu cabang dari cabang-cabang ilmu bahasa.
Nadzariyatul Wahdah mulai diterapkan di Indonesia sejak ditetapkan keputuan Menteri Agama no 75 tahun 1975. Di Indonesia gagasan ini mulanya dilontarkan oleh H. A. Mukti Ali ketika masih menjabat sebagai menteri agama. Hal ini dirasakan perlu dalam rangka meningkatkan pengajaran bahasa arab sesuai dengan tujuan yang tela ditetapkan. Bahasa sebagai suatu sistem terdiri dari unsur-unsur fungsional yang menunjukan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (integrasi). Karena itu, kesalahan salah satu unsur dalam sistem itu akan menimbulkan gangguan dan hambatan pada unsur lainnya. Selain itu, mengingat betapa pentingnya sub-sub sistem dalam bahasa itu maka harus diajarkan secara keseluruhan. Bahasa Arab harus disajikan melalui pengajaran secara menyeluruh (komprehensif), dalam arti bahasa itu diajarkan dalam materi-materi pelajaran yang masing-masing mencakup berbagai sub sistem bahasa yang saling berkaitan.
Dalam bukunya Ahmad Effendi yang berjudl “Pendeketan, Metode, Teknik Metodologi Pengajaran Bahasa Arab” dijelaskan bahwa Nadzariyatul Wahdah merupakan sebuah teori yang memandang bahasa sebagai satu kesatuan yang utuh, saling berhubungan dan berkaitan, bukan sebagai bagian yang terpisahkan satu sama lainnya.
Nadzariyatul Wahdah merupakan sebuah teori dalam pengajaran bahasa yang memandang bahasa sebagai suatu sistem yang terdiri dari unsur-unsur dan komponen yang teratur, tersusun menurut pola tertentu dan membentuk satu kesatuan.
Sedangkan dalam buku karya drs. Busyairi Madjidi Nadzariyatul Wahdah (all in one /teori kesatuan) dalam pengajaran bahasa adalah memandang kepada bahasa itu sendiri sebagai alat komunikasi antara manusia merupakan keutuhan dan kebulatan, kait-mengait atau salin berhubungan, tidak terbagi-bagi dan berbeda-beda. Untuk mempraktekan teori kesatuan ini ke dalam pengajaran bahasa, dibuatlah satu judul, tema atau suatu teks untuk menjadi pokok bahasan dari semua pelajaran, dia merupakan wacana bacaan (muthallaah) juga menjadi pusat percakapan (muhadasah), imla’, latihan-latihan bahasa gramatikal dan kegiatan proses belajar-mengajar bahasa.
Hal ini ditegaskan pula oleh Dr. mulyantoSumardi dalam bukunya yang berjudul Pengajaran Bahasa Asing Sebuah Tinjauan dari Segi Metodologi. Dalam bukunya dijelaskan bahwa bahasa itu adalah tulisan, tentu akan banyak menggunakan waktu mengajarnya dengan kegiatan yang berupa karang-mengarang, meringkas tulisan panjang menjadi tulisan yang lebih sederhana. Sehingga kurang memperhatikan latihan-latihan ucapan, bercakap-cakap, dan menyimak.[2]
Dalam proses pembelajaran bahasa, baik itu bahasa Arab  atau lainnya, kegiatan mendengar, bercakap-cakap, membaca dan menulis terjadi secara terintegrasi. Maksudnya, dalam setiap pembelajaran bahasa terjadi kegiatan di atas secara terpadu, tidak dilakukan dalam mata pelajaran yang terpisah-pisah.
Sistem kesatuan (nadzariyatul wahdah /united system)adalah suatu asumsi yang memandang bahasa arab sebagai satu-kesatuan dari beberapa unit yang saling menguatkan (ibrahim; 1973)
Unit-unit tersebut dapat dibagi ke dalam kategori, yaitu ;
a)      Dialog (al-hiwar)
b)      Membaca (al-qiroah)
c)      Struktur (tarkib)
d)     Menulis (al-kitabah)
e)      Hapalan (al-mahfuzhat)
f)       Apresiasi sastra (al-tadzawwuq al-adaby)[3]
Karakteristik
a.       Pembelajaran Berbasis Topik atau Teks Bacaan
Dalam pembelajan berbasis teks ini bahan utam kegiatannya adalah
1.      Pemahaman kosa kata,
2.      Pemahaman dan analisis teks,
3.      Pengusaan bunyi-bunyi bahasa melalui kegiatan membaca kertas,
4.      Percakapan dengan topik yang relevan,
5.      Latihan menulis berdasarkan bacaan
6.      Penguasaan struktur atau tata bahasa yang terdapat dalam teks

b.      Pembelajan Berbasis situasi atau Teks Percakapan
Pembelajaran situasi atau teks percakapan dikembangkan melalui beberapa cara, antara lain:
1.      Dramatisasi teks sampai dengan percakapan bebas,
2.      Latihan menghafalkan dan membedakan bunyi-bunyi tertentu,
3.      Latihan menulis dan mengubah teks dialog menjadi narasi,
4.      Memahami teks bacaan,
5.      Pembahasan struktur bahasa atau tata bahasa tertentu yang ada dalam teks.
      Selain ciri-ciri diatas terdapat pula karakteristik lain pengajaran Bahasa Arab berdasarkan Nazhariyyatul Wahdah, antara lain:
1.      Semua unit bersumber pada satu silabus dan bku sebagai silabus dan buku Bahasa Arab
2.      Semua unit diajarkan dalam alokasi waktu yang sama sebagai waktu pembelajaran Bahasa Arab
3.      Semua unit diajarkan oleh guru yang sama sebagai guru Bahasa Arab
4.      Dalam hal penilaian guru memberikan nilai akhir tidak untuk setai unit, melainkan nilai akhir Bahasa Arab sesuai dengan tujuan pembelajaran Bahasa Arab

     2.            Kelebihan dan Kekurangan

a)      Kelebihan
·         Menampilkan materi pelajaran bahasa secara utuh dan tidak terpisah-pisah sehingga para pelajar tidak dihadapkan pernik-pernik ilmu tentang bahasa yang pada umumnya membingungkan. Karena itulah Nadzariyatul Wahdah berupaya menampilkan pelajaran bahasa asing (bahasa Arab) secara sederhana dan praktis sehingga bahasa asing tidak terkesan sulit.
·         Nadzariyatul Wahdah ini sangat mendukung para pengajar dalam menyampaikan pelajaran kepada siswa, terutama tujuannya agar siswa bisa berkomunikasi dengan bahasa asing.[4]
Dalam pendapat lain, dijelaskan bahwa kelebihan sistem terpadu ini adalah landasan teoritisnya yang kuat, baik teori psikologi, teori kebahasaan maupun teori kependidikan. Dari sisi psikologi, sistem terpadu ini sesuai dengan cara kerja otak dalam memandang sesuatu, yaitu dari global atau keseluruhan baru kebagian-bagiannya. Variasi bahan atau variasi teknik penyajiannya bisa menghindarkan siswa dari kejenuhan. Dari segi teori kebahasaan, sistem terpadu sesuai dengan realita bahasa yang memadukan berbagai unsur dan keterampilan bahasa secara utuh. Dari segi kependidikan, sistem terpadu ini menjamin terwujudnya  pertumbuhan kemampuan bahasa secara seimbang, karena semuanya ditangani dalam situasi dan kondisi yang sama, tidak dipengaruhi oleh keberagaman semangat dan kemampuan para guru.[5]


b)      kekurangan
·         pendangkalan pengetahuan murid dalam pengetahuan ilmu bahasa terutama ilmu nahwu, ilmu sharf dan balaghah. Dalam sejarah perkembangan bahasa Arab, pelajaran tersebut sudah menjadi ilmu sendiri.
·         Untuk tujuan keagamaan dalam pengkajian bahasa Arab, seperti memahami Al Quran dan Al Hadis masih kurang memungkinkan maka teori ini berlaku diterapkan sampai mushlah mutaqoddimah ilmu qowaid dan balaghah sebaiknya diajarkan kepada murid sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
·         Tidaklah mudah menyusun buku bacaan pelajaran bahasa Arab dengan teori ini, sebab buku bacaan harus memperhatikan sekuensi perkembangan gramatik, kosa kata, uslub dan sebagainya.[6]
kelemahannya antara lain jika; jika diterapkan pada siswa tingkat lanjut (mutaqaddimin) kurang dapat memenuhi kepentingan pendalaman unsur bahasa atau keterampilan berbahasa tertentu yang memang menjadi kebutuhan nyata mereka.[7]

     3.            Implikasi pilihan sistem terhadap proses belajar yang sederajat
Secara umum, Nazhariyyatul wahdah lebik baik bila digunakan dalam kelas menengah ke bawah (antara lain karena lebih menggairahkan dan menjenuhkan). Bagi kelas peralihan, kiranya lebih bagus penerapan Nazhriyyatul Wahdah plus (gabungan), yaitu untuk mata pelajaran tertentu yang perlu kedalaman yang lebih rinci seperti Nahwu, Sharaf dan Imla’.
Bahasa Arab di madrasah dipersiapkan untuk pencapaian kompetisi berbahasa yang mencakup empat keterampilan bahasa yang diajarkan secara integral, yaitu menyimak, berbicara, membaca menulis. Meskipun begtu, pada tingkat pendidikan dasar (elementary) dititikberatkan pada keckapan menyimak dan berbicara sebagai landasan berbahasa. Pada tingkat pendidikan menengah (intermediate), keempat kecakapan berbahasa diajarkan secara seimbang. Adapun pada tingkat lanjut (advanced) dikonsentrasikan pada kecakapan membaca dan menulis, shingga pesrta didik diharapkan mampu mengakses berbagai referensi berbahasa arab.   

Dasar Nadzariyatul Wahdah dalam pengajaran bahasa arab.

a.       Dasar Psikologis
1.      Membangkitkan semangat belajar, menghilangkan kejenuhan disebabkan adanya variasi aktivitas belajar.
2.      Mengulang balik pelajaran ke dalam satu judul dari berbagai segi dengan demikian pemahaman bertambah baik. Proses inspirinting menjadi baik, sehingga mempermudah proses reproduksi.
3.      Mendorong pemahaman secara menyeluruh terhadap situasi yang dimunculkan judul. Lalu berpindah kepada pemahaman terhadap bagian-bagiannya.
Hal  ini secara psikologis memudahkan daya tangkap pada pelajaran.
b.      Dasar Pedagogis
1.      Dalam Nazhariyyatul Wahdah terjalin dengan erat antara pelajaran-pelajaran bahasa.
2.      Terjamin pertumbuhan kebahsaan yang seimbang dari murid-murid. Tak ada pelajaran yang menyolok atas lainnya. Karena tiap-tiap jenis pelajaran kesemuanya diajarkan dalam situasi yang sama. Pengabdian dan semangat guru dalam mengajar di dalam Nazhariyyatul Wahdah tidak turun naik. 
c.       Dasar-Dasar Kebahasan
       Teori kesatuan sesuai dengan pemakaian bahasa, karena kita ketika memakai bahasa dengan ucapan lisan atau tulisan, hanya terbit dalam perkataan atau tulisan kita dari kecerdasan kita dalam bahasa yang kita praktekkan dengan cara kesatuan. Jadi kita tidak memikirkan kamus untuk mengetahui kata-kata (mufrodat), memikirkan nahwu / sharaf untuk menyusun kalimat. Bahkan kita ucapkan kalimat yang sempurna dan berhubungan erat dengan segera dan cepat.   


A.    Tujuan
Tujuan pembelajaran sistem ini adalah agar para pembelajar bahasa menguasai bahasa arab dengan baik secara lisan maupun tulisan.



B.     Guru.
Agar sukses dalam menjalankan tugas, guru harus memiliki seperangkat kemampuan baik dalam bidang yang akan disampaikan, maupun kemampuan untuk menyampaikan bahan itu agar mudah diterima oleh peserta didik. Adapun kemampuan yang harus dimiliki kaitannya membina anak didik meliputi kemampuan mengawasi, membina, dan mengembangkan kemampuan siswa baik personil, professional maupun sosial.[8] Begitupun dengan guru bahasa Arab, karena merupakan kesatuan sistem, maka guru dari sistem ini dituntut untuk menguasai semua sisi dari bahasa Arab itu sendiri.

C.     Materi
Materi pengajaran bahasa berdasarkan Nazhariyyatul Wahdah
Materi pengajaran bahasa berdasarkan Nazhariyyatul Wahdah dasarnya lebih cenderung memadukan kesemua maharat dalam pembelajaran bahasa menjadi satu pelajaran dalam satu buku paduan dan satu untuk evaluasi dan hasil belajar. Tidak cenderung memisahkan antera setiap maharat dalam setiap pembelajaran menjadi satu pembelajaran khusus, dalam hal ini bertentangan dengan teori kesatuan.

D.    Realita keterbatasan waktu.
kalau dipandang dari Realita Keterbatasan Waktu, Nazhariyyatul Wahdah lebih banyak dipakai, tapi walaupun begitu, sistem ini sulit untuk dilaksanakan karena memang dalam sistem ini dibutuhkan waktu yang banyak. Oleh karena itu, bagi lembaga pendidikan yang menggunakan sistem ini cenderung menambah alokasi waktu untuk belajar seperti yang dilaksanakan oleh sekolah-sekolah terpadu akhir-akhir ini.

E.     Metode
Metode yang diterapkan oleh Nadzariyatul Wahdah biasanya lebih ditekankan pada bercakap cakap dan mendengarkan disamping menulis dan membaca.  Adapun salah satu metodenya adalah metode  langsung.

o   Metode Langsung (al- Thariqah al-Mubasyarah)
Ciri-ciri pokok metode ini antara lain;
a.       Tujuan utama pengajaran bahasa adalahpenguasaan bahasa sasaran secara lisan agar siswa dapat berkomunikasi dalam bahasa sasaran
b.      Materi pelajaran berupa; buku teks yang berisi daftar kosa kata dan penggunaanya dalam kalimat. Kosa kata itu umumnya kongkrit dan ada di lngkungan siswa, serta bisa diperagakan.
c.       Kaidah-kaidah bahasa diajarkan secara induktif, yaitu dimulai dari contoh-contoh kemudian diambil kesimpulan.
d.      Kosa kata kongkrit diajarkan melalui demonstrasi, peragaan, benda langsung dan gambar. Sedangkan kosa kata abstrak diajarkan melalui asosiasi, konteks, dan definisi.
e.       Kemampuan berkomunikasi lisan dilatihkan secara cepat melalui tanya jawab yang terencana 

F.      Media
Berikut ini beberapa media dalam pembelajaran bahasa arab diantaranya:

1.Perpustakaan dengan fasilitas internet, TV, VCD, dan yang lainnya.
2.LCD proyektor
3.Laboratorium computer.


G.    Sistem evaluasi.
Dalam sistem ini, sistem evaluasi yang diberlakukan adalah kesatuan evaluasi.  Adapun komponen-komponen bahasa tersebut menjadi satu kesatuan penilaian.

H.    Lingkungan
Lingkungan mempunyai peranan penting dalam pemerolehan bahasa. Lingkungan
adalah semua unsur dan faktor baik materi dan non materi mempengaruhi dalam proses pemberlajaran dan siswa menjadi semangat  dalam meningkatkan bahasa Arab, mendorong mereka dan memberanikan mereka untuk mempraktekkannya dalam realitas kehidupan sehari-hari, atau segala sesuatu yang didengar dan dilihat oleh siswa dari sesuatu yang mempengaruhi mereka dalam pempelajari bahasa Arab.

     4.            Potret pendidikan islam yang mengajarkan bahasa Arab
menurut Syed Muhammad Naqib Al-Attas, pendidikan adalah suatu proses penamaan sesuatu ke dalam diri manusia mengacu kepada metode dan sistem penamaan secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut.1
Dari definisi dan pengertian itu ada tiga unsur yang membentuk pendidikan yaitu adanya proses, kandungan, dan penerima. Kemudian disimpulkan lebih lanjut yaitu ” sesuatu yang secara bertahap ditanamkan ke dalam diri manusia”.Jadi definisi pendidikan Islam adalah, pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanammenurut Syed Muhammad Naqib Al-Attas, pendidikan adalah suatu proses penamaan sesuatu ke dalam diri manusia mengacu kepada metode dan sistem penamaan secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut.1
Dari definisi dan pengertian itu ada tiga unsur yang membentuk pendidikan yaitu adanya proses, kandungan, dan penerima. Kemudian disimpulkan lebih lanjut yaitu ” sesuatu yang secara bertahap ditanamkan ke dalam diri manusia”.Jadi definisi pendidikan Islam adalah, pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia, tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. Jadi pendidikan ini hanyalah untuk manusia saja.
Kembali kepada definisi pendidikan Islam yang menurut Al-Attas diperuntutukan untuk manusia saja. menurutnya pendidikan Islam dimasukkan dalam At-ta’dib, karena istilah ini paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan itu, sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah ini mancakup juga pendidikan kepada hewan. Menurut Al-Attas Adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan beberapa tingkat dan tingkatan derajat mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kepastian dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang.
Dari pengertian Al-Attas tersebut dibutuhkan pemahaman yang mendalam, arti dari pengertian itu adalah, “pengenalan” adalah menemukan tempat yang tepat sehubungan denagn apa yang dikenali, sedangkan “pengakuan” merupakan tindakan yang bertalian dengan pengenalan tadi. Pengenalan tanpa pengakuan adalah kecongkakan, dan pengakuan tanpa pengenalan adalah kejahilan belaka. Dengan kata lain ilmu dengan amal haruslah seiring. Ilmu tanpa amal maupun amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan. Kemudian tempat yang tepat adalah kedudukan dan kondisinya dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya, keluarga, kelompok, komunitas dan masyarakatnya, maksudnya dalam mengaktualisasikan dirinya harus berdasarkan kriteria Al-Quran tentang ilmu, akal, dan kebaikan (ihsan) yang selanjutnya mesti bertindak sesuai dengan ilmu pengetahuan secara positif, dipujikan serta terpuji.kan ke dalam diri manusia, tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. Jadi pendidikan ini hanyalah untuk manusia saja.
Kembali kepada definisi pendidikan Islam yang menurut Al-Attas diperuntutukan untuk manusia saja. menurutnya pendidikan Islam dimasukkan dalam At-ta’dib, karena istilah ini paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan itu, sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah ini mancakup juga pendidikan kepada hewan. Menurut Al-Attas Adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan beberapa tingkat dan tingkatan derajat mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kepastian dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang.
Dari pengertian Al-Attas tersebut dibutuhkan pemahaman yang mendalam, arti dari pengertian itu adalah, “pengenalan” adalah menemukan tempat yang tepat sehubungan denagn apa yang dikenali, sedangkan “pengakuan” merupakan tindakan yang bertalian dengan pengenalan tadi. Pengenalan tanpa pengakuan adalah kecongkakan, dan pengakuan tanpa pengenalan adalah kejahilan belaka. Dengan kata lain ilmu dengan amal haruslah seiring. Ilmu tanpa amal maupun amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan. Kemudian tempat yang tepat adalah kedudukan dan kondisinya dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya, keluarga, kelompok, komunitas dan masyarakatnya, maksudnya dalam mengaktumenurut Syed Muhammad Naqib Al-Attas, pendidikan adalah suatu proses penamaan sesuatu ke dalam diri manusia mengacu kepada metode dan sistem penamaan secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut.1
Dari definisi dan pengertian itu ada tiga unsur yang membentuk pendidikan yaitu adanya proses, kandungan, dan penerima. Kemudian disimpulkan lebih lanjut yaitu ” sesuatu yang secara bertahap ditanamkan ke dalam diri manusia”.Jadi definisi pendidikan Islam adalah, pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia, tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. Jadi pendidikan ini hanyalah untuk manusia saja.
Kembali kepada definisi pendidikan Islam yang menurut Al-Attas diperuntutukan untuk manusia saja. menurutnya pendidikan Islam dimasukkan dalam At-ta’dib, karena istilah ini paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan itu, sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah ini mancakup juga pendidikan kepada hewan. Menurut Al-Attas Adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan beberapa tingkat dan tingkatan derajat mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kepastian dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang.
Dari pengertian Al-Attas tersebut dibutuhkan pemahaman yang mendalam, arti dari pengertian itu adalah, “pengenalan” adalah menemukan tempat yang tepat sehubungan dengan apa yang dikenali, sedangkan “pengakuan” merupakan tindakan yang bertalian dengan pengenalan tadi. Pengenalan tanpa pengakuan adalah kecongkakan, dan pengakuan tanpa pengenalan adalah kejahilan belaka. Dengan kata lain ilmu dengan amal haruslah seiring. Ilmu tanpa amal maupun amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan. Kemudian tempat yang tepat adalah kedudukan dan kondisinya dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya, keluarga, kelompok, komunitas dan masyarakatnya, maksudnya dalam mengaktualisasikan dirinya harus berdasarkan kriteria Al-Quran tentang ilmu, akal, dan kebaikan (ihsan) yang selanjutnya mesti bertindak sesuai dengan ilmu pengetahuan secara positif, dipujikan serta terpuji.alisasikan dirinya harus berdasarkan kriteria Al-Quran tentang ilmu, akal, dan kebaikan (ihsan) yang selanjutnya mesti bertindak sesuai dengan ilmu pengetahuan secara positif, dipujikan serta terpuji.[9]
       Bahasa Arab telah menunjukkan peranan pentingnya dalam berbagai aspek baik sebagai bahasa wahyu, bahasa ibadah maupun bahasa komunikasi internasional dan pendidikan islam. Dari ketiga peranan bahasa Arab tersebut, yang memiliki hubungan erat dengan kajian keislaman adalah peranan bahasa Arab sebagai bahasa wahyu. Hal ini terjadi karena hakikat kajian keislaman adalah mengkaji bahasa wahyu (ayat-ayat Allah) baik berupa ayat-ayat al-Qur’an maupun ayat-ayat kauniyah. Kalau kita teliti lebih lanjut, hadis-hadis Nabi saw, adalah hasil kajian keislaman Nabi saw terhadap ayat-ayat Allah tersebut, dalam bentuk bahasa sunnah.
       Kalau ditulusuri sejarah peranan bahasa Arab terhadap kajian keislaman, suatu hal yang pasti, diharuskan mengkaji ulang sejarah Islam itu sendiri, sebab peranan bahasa Arab terhadap kajian keislaman, tak bisa dilepaskan dari perkembangan agama Islam itu sendiri. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa bahwa bahasa Arab baru mengalami perkembangan dan berperan penting secara segnifikan setelah bahsa ini dijadikan Allah SWT sebagai bahasa wahyu. Oleh karenanya, dari awal munculnya Islam di zaman Nabi Muhammad saw, periode Makkah, bahasa Arab telah menunjukkan peranannya dalam kajian-kajian keislaman, seperti yang dilakukan oleh Nabi saw, ketika mengajarkan ajaran Islam secara sembunyi-sembunyi di rumah Arqam bin Abi Arqam. Seperti yang dijelaskan oleh Haekal sebagai berikut:
“Nabi Muhammad saw, telah mendidik ummatnya secara bertahap, berangsur-angsur terhadap Assabiquna al awwalun ( orang-orang yang mula-mula masuk Islam) yaitu: Siti Khodijah, Abu Bakar Siddiq, Ali bin Abi Thalin, Zaid bin Haritsah, Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqas, Abdurrahman bin Auf, Talhah bin Ubaidillah, Arqam bin Abi Arqam, dan beberapa orang lainnya. Nabi saw, mendidik mereka secara langsung untuk dikader menjadi Muslim yang siap melaksanakan seluruh petunjuk dan perintah yang datang dari Allah SWT. Pada tahap awal ini, pusat kegiatan pendidikan Islam diselenggarakan di rumah Arqam bin Abi Arqam”.[10]



BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam kesatuan klasik islam, Nadzariyatul Wahdah pernah diperkenalkan oleh Abdul Abbas Al Mubarrad (pakar ilmu madzhab basrah, 826-896) dalam kitabnya Al Kamil. Dalam sistem tulisannya itu lebih dahulu disediakan teks bacaan kemudian diulasnya dari segi kebahasaan, nahwu, sharf dan lain-lain. Menurutnya dalam teori wahdah tidak membenarkan pengkhususan jamjam pelajaran khusus untuk suatu cabang dari cabang-cabang ilmu bahasa.




















DAFTAR PUSTAKA


Asyrofi, Syamsuddin, 2010, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, Yogyakarta : Penerbit Idea Press Yogyakarta
Sholihatin Laily, dkk, 2013, Makalah Nadzariyatul Furu’  dan Nadzariyatul Wahdah, Yogyakarta
Asyrofi, Syamsuddin, 2013, Hand out metodologi pengajaran bahasa arab, Yogyakarta

http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/makalah-tentang-penddikan-agama-islam/





[1]Syamsuddin Asyrofi, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, (Yogyakarta : Penerbit Idea Press Yogyakarta, 2010) hal. 114-115 
[2]Laily sholihatin, dkk, Makalah Nadzariyatul Furu’  dan Nadzariyatul Wahdah (Yogyakarta: 2013)
[3]Syamsuddin Asyrofi, Hand out metodologi pengajaran bahasa arab, (yogyakarta:2013)
[4] Laily sholihatin, dkk, Makalah Nadzariyatul Furu’  dan Nadzariyatul Wahdah (Yogyakarta: 2013)
[5] Syamsuddin Asyrofi, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, (Yogyakarta : Penerbit Idea Press Yogyakarta, 2010) hal.115 
[6] Ibid,
[7]Ibid,
[9] http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/makalah-tentang-penddikan-agama-islam/

1 komentar: