BAB
II PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Dalam
bahasa inggris sistem ini di kenal dengan integrated system atau all
in one system. Dalam sistem ini, bahasa dipandan sebagai sesuatu yang utuh
dan saling berhubungan, bukan sebagai bagian yang terpisah-pisah. Oleh karena
itu, hanya ada satu mata pelajaran, yaitu bahasa arab, satu buku teks, satu
evaluasi dan satu nilai hasil belajar[1].
Dalam
kesatuan klasik islam, Nadzariyatul Wahdah pernah diperkenalkan oleh
Abdul Abbas Al Mubarrad (pakar ilmu madzhab basrah, 826-896) dalam kitabnya Al
Kamil. Dalam sistem tulisannya itu lebih dahulu disediakan teks bacaan kemudian
diulasnya dari segi kebahasaan, nahwu, sharf dan lain-lain. Menurutnya dalam
teori wahdah tidak membenarkan pengkhususan jamjam pelajaran khusus untuk suatu
cabang dari cabang-cabang ilmu bahasa.
Nadzariyatul
Wahdah mulai diterapkan di Indonesia sejak ditetapkan
keputuan Menteri Agama no 75 tahun 1975. Di Indonesia gagasan ini mulanya
dilontarkan oleh H. A. Mukti Ali ketika masih menjabat sebagai menteri agama.
Hal ini dirasakan perlu dalam rangka meningkatkan pengajaran bahasa arab sesuai
dengan tujuan yang tela ditetapkan. Bahasa sebagai suatu sistem terdiri dari
unsur-unsur fungsional yang menunjukan suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan (integrasi). Karena itu, kesalahan salah satu unsur dalam sistem itu
akan menimbulkan gangguan dan hambatan pada unsur lainnya. Selain itu,
mengingat betapa pentingnya sub-sub sistem dalam bahasa itu maka harus
diajarkan secara keseluruhan. Bahasa Arab harus disajikan melalui pengajaran
secara menyeluruh (komprehensif), dalam arti bahasa itu diajarkan dalam
materi-materi pelajaran yang masing-masing mencakup berbagai sub sistem bahasa
yang saling berkaitan.
Dalam
bukunya Ahmad Effendi yang berjudl “Pendeketan, Metode, Teknik Metodologi
Pengajaran Bahasa Arab” dijelaskan bahwa Nadzariyatul Wahdah merupakan
sebuah teori yang memandang bahasa sebagai satu kesatuan yang utuh, saling
berhubungan dan berkaitan, bukan sebagai bagian yang terpisahkan satu sama
lainnya.
Nadzariyatul
Wahdah merupakan sebuah teori dalam pengajaran bahasa yang
memandang bahasa sebagai suatu sistem yang terdiri dari unsur-unsur dan
komponen yang teratur, tersusun menurut pola tertentu dan membentuk satu
kesatuan.
Sedangkan
dalam buku karya drs. Busyairi Madjidi Nadzariyatul Wahdah (all in one
/teori kesatuan) dalam pengajaran bahasa adalah memandang kepada bahasa itu
sendiri sebagai alat komunikasi antara manusia merupakan keutuhan dan
kebulatan, kait-mengait atau salin berhubungan, tidak terbagi-bagi dan
berbeda-beda. Untuk mempraktekan teori kesatuan ini ke dalam pengajaran bahasa,
dibuatlah satu judul, tema atau suatu teks untuk menjadi pokok bahasan dari
semua pelajaran, dia merupakan wacana bacaan (muthallaah) juga menjadi pusat
percakapan (muhadasah), imla’, latihan-latihan bahasa gramatikal dan kegiatan
proses belajar-mengajar bahasa.
Hal
ini ditegaskan pula oleh Dr. mulyantoSumardi dalam bukunya yang berjudul
Pengajaran Bahasa Asing Sebuah Tinjauan dari Segi Metodologi. Dalam bukunya
dijelaskan bahwa bahasa itu adalah tulisan, tentu akan banyak menggunakan waktu
mengajarnya dengan kegiatan yang berupa karang-mengarang, meringkas tulisan
panjang menjadi tulisan yang lebih sederhana. Sehingga kurang memperhatikan
latihan-latihan ucapan, bercakap-cakap, dan menyimak.[2]
Dalam
proses pembelajaran bahasa, baik itu bahasa Arab atau lainnya, kegiatan mendengar,
bercakap-cakap, membaca dan menulis terjadi secara terintegrasi. Maksudnya,
dalam setiap pembelajaran bahasa terjadi kegiatan di atas secara terpadu, tidak
dilakukan dalam mata pelajaran yang terpisah-pisah.
Sistem
kesatuan (nadzariyatul wahdah /united system)adalah suatu asumsi yang memandang
bahasa arab sebagai satu-kesatuan dari beberapa unit yang saling menguatkan
(ibrahim; 1973)
Unit-unit tersebut dapat dibagi ke
dalam kategori, yaitu ;
a) Dialog
(al-hiwar)
b) Membaca
(al-qiroah)
c) Struktur
(tarkib)
d) Menulis
(al-kitabah)
e) Hapalan
(al-mahfuzhat)
f) Apresiasi
sastra (al-tadzawwuq al-adaby)[3]
Karakteristik
a. Pembelajaran
Berbasis Topik atau Teks Bacaan
Dalam
pembelajan berbasis teks ini bahan utam kegiatannya adalah
1. Pemahaman
kosa kata,
2. Pemahaman
dan analisis teks,
3. Pengusaan
bunyi-bunyi bahasa melalui kegiatan membaca kertas,
4. Percakapan
dengan topik yang relevan,
5. Latihan
menulis berdasarkan bacaan
6. Penguasaan
struktur atau tata bahasa yang terdapat dalam teks
b. Pembelajan
Berbasis situasi atau Teks Percakapan
Pembelajaran
situasi atau teks percakapan dikembangkan melalui beberapa cara, antara lain:
1. Dramatisasi
teks sampai dengan percakapan bebas,
2. Latihan
menghafalkan dan membedakan bunyi-bunyi tertentu,
3. Latihan
menulis dan mengubah teks dialog menjadi narasi,
4. Memahami
teks bacaan,
5. Pembahasan
struktur bahasa atau tata bahasa tertentu yang ada dalam teks.
Selain ciri-ciri diatas terdapat pula
karakteristik lain pengajaran Bahasa Arab berdasarkan Nazhariyyatul Wahdah, antara
lain:
1. Semua
unit bersumber pada satu silabus dan bku sebagai silabus dan buku Bahasa Arab
2. Semua
unit diajarkan dalam alokasi waktu yang sama sebagai waktu pembelajaran Bahasa
Arab
3. Semua
unit diajarkan oleh guru yang sama sebagai guru Bahasa Arab
4. Dalam
hal penilaian guru memberikan nilai akhir tidak untuk setai unit, melainkan
nilai akhir Bahasa Arab sesuai dengan tujuan pembelajaran Bahasa Arab
2.
Kelebihan dan
Kekurangan
a) Kelebihan
·
Menampilkan
materi pelajaran bahasa secara utuh dan tidak terpisah-pisah sehingga para
pelajar tidak dihadapkan pernik-pernik ilmu tentang bahasa yang pada umumnya
membingungkan. Karena itulah Nadzariyatul
Wahdah berupaya menampilkan pelajaran bahasa asing (bahasa Arab) secara
sederhana dan praktis sehingga bahasa asing tidak terkesan sulit.
·
Nadzariyatul
Wahdah ini sangat mendukung para pengajar dalam
menyampaikan pelajaran kepada siswa, terutama tujuannya agar siswa bisa
berkomunikasi dengan bahasa asing.[4]
Dalam pendapat lain, dijelaskan bahwa
kelebihan sistem terpadu ini adalah landasan teoritisnya yang kuat, baik teori
psikologi, teori kebahasaan maupun teori kependidikan. Dari sisi psikologi,
sistem terpadu ini sesuai dengan cara kerja otak dalam memandang sesuatu, yaitu
dari global atau keseluruhan baru kebagian-bagiannya. Variasi bahan atau
variasi teknik penyajiannya bisa menghindarkan siswa dari kejenuhan. Dari segi
teori kebahasaan, sistem terpadu sesuai dengan realita bahasa yang memadukan
berbagai unsur dan keterampilan bahasa secara utuh. Dari segi kependidikan,
sistem terpadu ini menjamin terwujudnya
pertumbuhan kemampuan bahasa secara seimbang, karena semuanya ditangani
dalam situasi dan kondisi yang sama, tidak dipengaruhi oleh keberagaman
semangat dan kemampuan para guru.[5]
b) kekurangan
·
pendangkalan
pengetahuan murid dalam pengetahuan ilmu bahasa terutama ilmu nahwu, ilmu sharf
dan balaghah. Dalam sejarah perkembangan bahasa Arab, pelajaran tersebut sudah
menjadi ilmu sendiri.
·
Untuk tujuan
keagamaan dalam pengkajian bahasa Arab, seperti memahami Al Quran dan Al Hadis
masih kurang memungkinkan maka teori ini berlaku diterapkan sampai mushlah
mutaqoddimah ilmu qowaid dan balaghah sebaiknya diajarkan kepada murid sebagai
ilmu yang berdiri sendiri.
·
Tidaklah mudah
menyusun buku bacaan pelajaran bahasa Arab dengan teori ini, sebab buku bacaan
harus memperhatikan sekuensi perkembangan gramatik, kosa kata, uslub dan
sebagainya.[6]
kelemahannya
antara lain jika; jika diterapkan pada siswa tingkat lanjut (mutaqaddimin) kurang dapat memenuhi
kepentingan pendalaman unsur bahasa atau keterampilan berbahasa tertentu yang
memang menjadi kebutuhan nyata mereka.[7]
3.
Implikasi
pilihan sistem terhadap proses belajar yang sederajat
Secara umum, Nazhariyyatul
wahdah lebik baik bila digunakan dalam kelas menengah ke bawah (antara lain
karena lebih menggairahkan dan menjenuhkan). Bagi kelas peralihan, kiranya
lebih bagus penerapan Nazhriyyatul Wahdah plus (gabungan), yaitu untuk mata
pelajaran tertentu yang perlu kedalaman yang lebih rinci seperti Nahwu, Sharaf
dan Imla’.
Bahasa Arab di madrasah dipersiapkan untuk
pencapaian kompetisi berbahasa yang mencakup empat keterampilan bahasa yang
diajarkan secara integral, yaitu menyimak, berbicara, membaca menulis. Meskipun
begtu, pada tingkat pendidikan dasar (elementary) dititikberatkan pada keckapan
menyimak dan berbicara sebagai landasan berbahasa. Pada tingkat pendidikan
menengah (intermediate), keempat kecakapan berbahasa diajarkan secara seimbang.
Adapun pada tingkat lanjut (advanced) dikonsentrasikan pada kecakapan membaca
dan menulis, shingga pesrta didik diharapkan mampu mengakses berbagai referensi
berbahasa arab.
Dasar Nadzariyatul Wahdah dalam pengajaran bahasa arab.
a. Dasar
Psikologis
1. Membangkitkan
semangat belajar, menghilangkan kejenuhan disebabkan adanya variasi aktivitas
belajar.
2. Mengulang
balik pelajaran ke dalam satu judul dari berbagai segi dengan demikian
pemahaman bertambah baik. Proses inspirinting menjadi baik, sehingga
mempermudah proses reproduksi.
3. Mendorong
pemahaman secara menyeluruh terhadap situasi yang dimunculkan judul. Lalu
berpindah kepada pemahaman terhadap bagian-bagiannya.
Hal ini secara psikologis memudahkan daya tangkap
pada pelajaran.
b. Dasar
Pedagogis
1. Dalam
Nazhariyyatul Wahdah terjalin dengan erat antara pelajaran-pelajaran
bahasa.
2. Terjamin
pertumbuhan kebahsaan yang seimbang dari murid-murid. Tak ada pelajaran yang
menyolok atas lainnya. Karena tiap-tiap jenis pelajaran kesemuanya diajarkan
dalam situasi yang sama. Pengabdian dan semangat guru dalam mengajar di dalam Nazhariyyatul
Wahdah tidak turun naik.
c. Dasar-Dasar
Kebahasan
Teori kesatuan sesuai dengan pemakaian
bahasa, karena kita ketika memakai bahasa dengan ucapan lisan atau tulisan,
hanya terbit dalam perkataan atau tulisan kita dari kecerdasan kita dalam
bahasa yang kita praktekkan dengan cara kesatuan. Jadi kita tidak memikirkan
kamus untuk mengetahui kata-kata (mufrodat), memikirkan nahwu / sharaf untuk
menyusun kalimat. Bahkan kita ucapkan kalimat yang sempurna dan berhubungan
erat dengan segera dan cepat.
A.
Tujuan
Tujuan
pembelajaran sistem ini adalah agar para pembelajar bahasa menguasai bahasa
arab dengan baik secara lisan maupun tulisan.
B.
Guru.
Agar sukses
dalam menjalankan tugas, guru harus memiliki seperangkat kemampuan baik dalam
bidang yang akan disampaikan, maupun kemampuan untuk menyampaikan bahan itu
agar mudah diterima oleh peserta didik. Adapun kemampuan yang harus dimiliki
kaitannya membina anak didik meliputi kemampuan mengawasi, membina, dan
mengembangkan kemampuan siswa baik personil, professional maupun sosial.[8]
Begitupun dengan guru bahasa Arab, karena merupakan kesatuan sistem, maka guru
dari sistem ini dituntut untuk menguasai semua sisi dari bahasa Arab itu
sendiri.
C.
Materi
Materi
pengajaran bahasa berdasarkan Nazhariyyatul Wahdah
Materi
pengajaran bahasa berdasarkan Nazhariyyatul Wahdah dasarnya lebih cenderung
memadukan kesemua maharat dalam pembelajaran bahasa menjadi satu pelajaran
dalam satu buku paduan dan satu untuk evaluasi dan hasil belajar. Tidak
cenderung memisahkan antera setiap maharat dalam setiap pembelajaran menjadi
satu pembelajaran khusus, dalam hal ini bertentangan dengan teori kesatuan.
D.
Realita
keterbatasan waktu.
kalau
dipandang dari Realita Keterbatasan Waktu, Nazhariyyatul Wahdah lebih banyak
dipakai, tapi walaupun begitu, sistem ini sulit untuk dilaksanakan karena
memang dalam sistem ini dibutuhkan waktu yang banyak. Oleh karena itu, bagi
lembaga pendidikan yang menggunakan sistem ini cenderung menambah alokasi waktu
untuk belajar seperti yang dilaksanakan oleh sekolah-sekolah terpadu
akhir-akhir ini.
E.
Metode
Metode yang diterapkan oleh Nadzariyatul
Wahdah biasanya lebih ditekankan pada bercakap cakap dan mendengarkan
disamping menulis dan membaca. Adapun
salah satu metodenya adalah metode
langsung.
o
Metode Langsung
(al- Thariqah al-Mubasyarah)
Ciri-ciri pokok metode
ini antara lain;
a. Tujuan
utama pengajaran bahasa adalahpenguasaan bahasa sasaran secara lisan agar siswa
dapat berkomunikasi dalam bahasa sasaran
b. Materi
pelajaran berupa; buku teks yang berisi daftar kosa kata dan penggunaanya dalam
kalimat. Kosa kata itu umumnya kongkrit dan ada di lngkungan siswa, serta bisa
diperagakan.
c. Kaidah-kaidah
bahasa diajarkan secara induktif, yaitu dimulai dari contoh-contoh kemudian
diambil kesimpulan.
d. Kosa
kata kongkrit diajarkan melalui demonstrasi, peragaan, benda langsung dan
gambar. Sedangkan kosa kata abstrak diajarkan melalui asosiasi, konteks, dan
definisi.
e. Kemampuan
berkomunikasi lisan dilatihkan secara cepat melalui tanya jawab yang
terencana
F.
Media
Berikut ini
beberapa media dalam pembelajaran bahasa arab diantaranya:
1.Perpustakaan dengan fasilitas internet, TV, VCD, dan yang lainnya.
2.LCD proyektor
3.Laboratorium computer.
G.
Sistem evaluasi.
Dalam
sistem ini, sistem evaluasi yang diberlakukan adalah kesatuan evaluasi. Adapun komponen-komponen bahasa tersebut
menjadi satu kesatuan penilaian.
H.
Lingkungan
Lingkungan
mempunyai peranan penting dalam pemerolehan bahasa. Lingkungan
adalah semua unsur dan faktor baik materi dan non materi mempengaruhi dalam proses pemberlajaran dan siswa menjadi semangat dalam meningkatkan bahasa Arab, mendorong mereka dan memberanikan mereka untuk mempraktekkannya dalam realitas kehidupan sehari-hari, atau segala sesuatu yang didengar dan dilihat oleh siswa dari sesuatu yang mempengaruhi mereka dalam pempelajari bahasa Arab.
adalah semua unsur dan faktor baik materi dan non materi mempengaruhi dalam proses pemberlajaran dan siswa menjadi semangat dalam meningkatkan bahasa Arab, mendorong mereka dan memberanikan mereka untuk mempraktekkannya dalam realitas kehidupan sehari-hari, atau segala sesuatu yang didengar dan dilihat oleh siswa dari sesuatu yang mempengaruhi mereka dalam pempelajari bahasa Arab.
4.
Potret
pendidikan islam yang mengajarkan bahasa Arab
menurut Syed Muhammad Naqib Al-Attas, pendidikan
adalah suatu proses penamaan sesuatu ke dalam diri manusia mengacu kepada
metode dan sistem penamaan secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses
dan kandungan pendidikan tersebut.1
Dari definisi dan pengertian itu ada tiga unsur yang membentuk pendidikan yaitu adanya proses, kandungan, dan penerima. Kemudian disimpulkan lebih lanjut yaitu ” sesuatu yang secara bertahap ditanamkan ke dalam diri manusia”.Jadi definisi pendidikan Islam adalah, pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanammenurut Syed Muhammad Naqib Al-Attas, pendidikan adalah suatu proses penamaan sesuatu ke dalam diri manusia mengacu kepada metode dan sistem penamaan secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut.1
Dari definisi dan pengertian itu ada tiga unsur yang membentuk pendidikan yaitu adanya proses, kandungan, dan penerima. Kemudian disimpulkan lebih lanjut yaitu ” sesuatu yang secara bertahap ditanamkan ke dalam diri manusia”.Jadi definisi pendidikan Islam adalah, pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia, tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. Jadi pendidikan ini hanyalah untuk manusia saja.
Kembali kepada definisi pendidikan Islam yang menurut Al-Attas diperuntutukan untuk manusia saja. menurutnya pendidikan Islam dimasukkan dalam At-ta’dib, karena istilah ini paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan itu, sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah ini mancakup juga pendidikan kepada hewan. Menurut Al-Attas Adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan beberapa tingkat dan tingkatan derajat mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kepastian dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang.
Dari pengertian Al-Attas tersebut dibutuhkan pemahaman yang mendalam, arti dari pengertian itu adalah, “pengenalan” adalah menemukan tempat yang tepat sehubungan denagn apa yang dikenali, sedangkan “pengakuan” merupakan tindakan yang bertalian dengan pengenalan tadi. Pengenalan tanpa pengakuan adalah kecongkakan, dan pengakuan tanpa pengenalan adalah kejahilan belaka. Dengan kata lain ilmu dengan amal haruslah seiring. Ilmu tanpa amal maupun amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan. Kemudian tempat yang tepat adalah kedudukan dan kondisinya dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya, keluarga, kelompok, komunitas dan masyarakatnya, maksudnya dalam mengaktualisasikan dirinya harus berdasarkan kriteria Al-Quran tentang ilmu, akal, dan kebaikan (ihsan) yang selanjutnya mesti bertindak sesuai dengan ilmu pengetahuan secara positif, dipujikan serta terpuji.kan ke dalam diri manusia, tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. Jadi pendidikan ini hanyalah untuk manusia saja.
Kembali kepada definisi pendidikan Islam yang menurut Al-Attas diperuntutukan untuk manusia saja. menurutnya pendidikan Islam dimasukkan dalam At-ta’dib, karena istilah ini paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan itu, sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah ini mancakup juga pendidikan kepada hewan. Menurut Al-Attas Adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan beberapa tingkat dan tingkatan derajat mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kepastian dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang.
Dari pengertian Al-Attas tersebut dibutuhkan pemahaman yang mendalam, arti dari pengertian itu adalah, “pengenalan” adalah menemukan tempat yang tepat sehubungan denagn apa yang dikenali, sedangkan “pengakuan” merupakan tindakan yang bertalian dengan pengenalan tadi. Pengenalan tanpa pengakuan adalah kecongkakan, dan pengakuan tanpa pengenalan adalah kejahilan belaka. Dengan kata lain ilmu dengan amal haruslah seiring. Ilmu tanpa amal maupun amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan. Kemudian tempat yang tepat adalah kedudukan dan kondisinya dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya, keluarga, kelompok, komunitas dan masyarakatnya, maksudnya dalam mengaktumenurut Syed Muhammad Naqib Al-Attas, pendidikan adalah suatu proses penamaan sesuatu ke dalam diri manusia mengacu kepada metode dan sistem penamaan secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut.1
Dari definisi dan pengertian itu ada tiga unsur yang membentuk pendidikan yaitu adanya proses, kandungan, dan penerima. Kemudian disimpulkan lebih lanjut yaitu ” sesuatu yang secara bertahap ditanamkan ke dalam diri manusia”.Jadi definisi pendidikan Islam adalah, pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia, tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. Jadi pendidikan ini hanyalah untuk manusia saja.
Kembali kepada definisi pendidikan Islam yang menurut Al-Attas diperuntutukan untuk manusia saja. menurutnya pendidikan Islam dimasukkan dalam At-ta’dib, karena istilah ini paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan itu, sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah ini mancakup juga pendidikan kepada hewan. Menurut Al-Attas Adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan beberapa tingkat dan tingkatan derajat mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kepastian dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang.
Dari pengertian Al-Attas tersebut dibutuhkan pemahaman yang mendalam, arti dari pengertian itu adalah, “pengenalan” adalah menemukan tempat yang tepat sehubungan dengan apa yang dikenali, sedangkan “pengakuan” merupakan tindakan yang bertalian dengan pengenalan tadi. Pengenalan tanpa pengakuan adalah kecongkakan, dan pengakuan tanpa pengenalan adalah kejahilan belaka. Dengan kata lain ilmu dengan amal haruslah seiring. Ilmu tanpa amal maupun amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan. Kemudian tempat yang tepat adalah kedudukan dan kondisinya dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya, keluarga, kelompok, komunitas dan masyarakatnya, maksudnya dalam mengaktualisasikan dirinya harus berdasarkan kriteria Al-Quran tentang ilmu, akal, dan kebaikan (ihsan) yang selanjutnya mesti bertindak sesuai dengan ilmu pengetahuan secara positif, dipujikan serta terpuji.alisasikan dirinya harus berdasarkan kriteria Al-Quran tentang ilmu, akal, dan kebaikan (ihsan) yang selanjutnya mesti bertindak sesuai dengan ilmu pengetahuan secara positif, dipujikan serta terpuji.[9]
Dari definisi dan pengertian itu ada tiga unsur yang membentuk pendidikan yaitu adanya proses, kandungan, dan penerima. Kemudian disimpulkan lebih lanjut yaitu ” sesuatu yang secara bertahap ditanamkan ke dalam diri manusia”.Jadi definisi pendidikan Islam adalah, pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanammenurut Syed Muhammad Naqib Al-Attas, pendidikan adalah suatu proses penamaan sesuatu ke dalam diri manusia mengacu kepada metode dan sistem penamaan secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut.1
Dari definisi dan pengertian itu ada tiga unsur yang membentuk pendidikan yaitu adanya proses, kandungan, dan penerima. Kemudian disimpulkan lebih lanjut yaitu ” sesuatu yang secara bertahap ditanamkan ke dalam diri manusia”.Jadi definisi pendidikan Islam adalah, pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia, tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. Jadi pendidikan ini hanyalah untuk manusia saja.
Kembali kepada definisi pendidikan Islam yang menurut Al-Attas diperuntutukan untuk manusia saja. menurutnya pendidikan Islam dimasukkan dalam At-ta’dib, karena istilah ini paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan itu, sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah ini mancakup juga pendidikan kepada hewan. Menurut Al-Attas Adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan beberapa tingkat dan tingkatan derajat mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kepastian dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang.
Dari pengertian Al-Attas tersebut dibutuhkan pemahaman yang mendalam, arti dari pengertian itu adalah, “pengenalan” adalah menemukan tempat yang tepat sehubungan denagn apa yang dikenali, sedangkan “pengakuan” merupakan tindakan yang bertalian dengan pengenalan tadi. Pengenalan tanpa pengakuan adalah kecongkakan, dan pengakuan tanpa pengenalan adalah kejahilan belaka. Dengan kata lain ilmu dengan amal haruslah seiring. Ilmu tanpa amal maupun amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan. Kemudian tempat yang tepat adalah kedudukan dan kondisinya dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya, keluarga, kelompok, komunitas dan masyarakatnya, maksudnya dalam mengaktualisasikan dirinya harus berdasarkan kriteria Al-Quran tentang ilmu, akal, dan kebaikan (ihsan) yang selanjutnya mesti bertindak sesuai dengan ilmu pengetahuan secara positif, dipujikan serta terpuji.kan ke dalam diri manusia, tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. Jadi pendidikan ini hanyalah untuk manusia saja.
Kembali kepada definisi pendidikan Islam yang menurut Al-Attas diperuntutukan untuk manusia saja. menurutnya pendidikan Islam dimasukkan dalam At-ta’dib, karena istilah ini paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan itu, sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah ini mancakup juga pendidikan kepada hewan. Menurut Al-Attas Adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan beberapa tingkat dan tingkatan derajat mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kepastian dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang.
Dari pengertian Al-Attas tersebut dibutuhkan pemahaman yang mendalam, arti dari pengertian itu adalah, “pengenalan” adalah menemukan tempat yang tepat sehubungan denagn apa yang dikenali, sedangkan “pengakuan” merupakan tindakan yang bertalian dengan pengenalan tadi. Pengenalan tanpa pengakuan adalah kecongkakan, dan pengakuan tanpa pengenalan adalah kejahilan belaka. Dengan kata lain ilmu dengan amal haruslah seiring. Ilmu tanpa amal maupun amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan. Kemudian tempat yang tepat adalah kedudukan dan kondisinya dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya, keluarga, kelompok, komunitas dan masyarakatnya, maksudnya dalam mengaktumenurut Syed Muhammad Naqib Al-Attas, pendidikan adalah suatu proses penamaan sesuatu ke dalam diri manusia mengacu kepada metode dan sistem penamaan secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut.1
Dari definisi dan pengertian itu ada tiga unsur yang membentuk pendidikan yaitu adanya proses, kandungan, dan penerima. Kemudian disimpulkan lebih lanjut yaitu ” sesuatu yang secara bertahap ditanamkan ke dalam diri manusia”.Jadi definisi pendidikan Islam adalah, pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia, tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. Jadi pendidikan ini hanyalah untuk manusia saja.
Kembali kepada definisi pendidikan Islam yang menurut Al-Attas diperuntutukan untuk manusia saja. menurutnya pendidikan Islam dimasukkan dalam At-ta’dib, karena istilah ini paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan itu, sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah ini mancakup juga pendidikan kepada hewan. Menurut Al-Attas Adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan beberapa tingkat dan tingkatan derajat mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kepastian dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang.
Dari pengertian Al-Attas tersebut dibutuhkan pemahaman yang mendalam, arti dari pengertian itu adalah, “pengenalan” adalah menemukan tempat yang tepat sehubungan dengan apa yang dikenali, sedangkan “pengakuan” merupakan tindakan yang bertalian dengan pengenalan tadi. Pengenalan tanpa pengakuan adalah kecongkakan, dan pengakuan tanpa pengenalan adalah kejahilan belaka. Dengan kata lain ilmu dengan amal haruslah seiring. Ilmu tanpa amal maupun amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan. Kemudian tempat yang tepat adalah kedudukan dan kondisinya dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya, keluarga, kelompok, komunitas dan masyarakatnya, maksudnya dalam mengaktualisasikan dirinya harus berdasarkan kriteria Al-Quran tentang ilmu, akal, dan kebaikan (ihsan) yang selanjutnya mesti bertindak sesuai dengan ilmu pengetahuan secara positif, dipujikan serta terpuji.alisasikan dirinya harus berdasarkan kriteria Al-Quran tentang ilmu, akal, dan kebaikan (ihsan) yang selanjutnya mesti bertindak sesuai dengan ilmu pengetahuan secara positif, dipujikan serta terpuji.[9]
Bahasa Arab telah menunjukkan peranan pentingnya dalam berbagai aspek baik
sebagai bahasa wahyu, bahasa ibadah maupun bahasa komunikasi internasional dan
pendidikan islam. Dari ketiga peranan bahasa Arab tersebut, yang memiliki
hubungan erat dengan kajian keislaman adalah peranan bahasa Arab sebagai bahasa
wahyu. Hal ini terjadi karena hakikat kajian keislaman adalah mengkaji bahasa
wahyu (ayat-ayat Allah) baik berupa ayat-ayat al-Qur’an maupun ayat-ayat
kauniyah. Kalau kita teliti lebih lanjut, hadis-hadis Nabi saw, adalah hasil
kajian keislaman Nabi saw terhadap ayat-ayat Allah tersebut, dalam bentuk
bahasa sunnah.
Kalau ditulusuri sejarah peranan bahasa Arab terhadap kajian keislaman, suatu
hal yang pasti, diharuskan mengkaji ulang sejarah Islam itu sendiri, sebab
peranan bahasa Arab terhadap kajian keislaman, tak bisa dilepaskan dari
perkembangan agama Islam itu sendiri. Sebagaimana telah dijelaskan di atas
bahwa bahwa bahasa Arab baru mengalami perkembangan dan berperan penting secara
segnifikan setelah bahsa ini dijadikan Allah SWT sebagai bahasa wahyu. Oleh
karenanya, dari awal munculnya Islam di zaman Nabi Muhammad saw, periode
Makkah, bahasa Arab telah menunjukkan peranannya dalam kajian-kajian keislaman,
seperti yang dilakukan oleh Nabi saw, ketika mengajarkan ajaran Islam secara
sembunyi-sembunyi di rumah Arqam bin Abi Arqam. Seperti yang dijelaskan oleh
Haekal sebagai berikut:
“Nabi
Muhammad saw, telah mendidik ummatnya secara bertahap, berangsur-angsur
terhadap Assabiquna al awwalun ( orang-orang yang mula-mula masuk Islam) yaitu:
Siti Khodijah, Abu Bakar Siddiq, Ali bin Abi Thalin, Zaid bin Haritsah, Usman
bin Affan, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqas, Abdurrahman bin Auf, Talhah
bin Ubaidillah, Arqam bin Abi Arqam, dan beberapa orang lainnya. Nabi saw,
mendidik mereka secara langsung untuk dikader menjadi Muslim yang siap
melaksanakan seluruh petunjuk dan perintah yang datang dari Allah SWT. Pada
tahap awal ini, pusat kegiatan pendidikan Islam diselenggarakan di rumah Arqam
bin Abi Arqam”.[10]
BAB
III PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam kesatuan klasik islam, Nadzariyatul Wahdah pernah
diperkenalkan oleh Abdul Abbas Al Mubarrad (pakar ilmu madzhab basrah, 826-896)
dalam kitabnya Al Kamil. Dalam sistem tulisannya itu lebih dahulu disediakan
teks bacaan kemudian diulasnya dari segi kebahasaan, nahwu, sharf dan
lain-lain. Menurutnya dalam teori wahdah tidak membenarkan pengkhususan jamjam
pelajaran khusus untuk suatu cabang dari cabang-cabang ilmu bahasa.
DAFTAR
PUSTAKA
Asyrofi, Syamsuddin, 2010, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, Yogyakarta : Penerbit Idea Press Yogyakarta
Sholihatin Laily, dkk,
2013, Makalah Nadzariyatul Furu’ dan
Nadzariyatul Wahdah, Yogyakarta
Asyrofi, Syamsuddin, 2013, Hand
out metodologi pengajaran bahasa arab, Yogyakarta
http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/makalah-tentang-penddikan-agama-islam/
[1]Syamsuddin
Asyrofi, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, (Yogyakarta : Penerbit
Idea Press Yogyakarta, 2010) hal. 114-115
[2]Laily
sholihatin, dkk, Makalah Nadzariyatul Furu’
dan Nadzariyatul Wahdah (Yogyakarta: 2013)
[3]Syamsuddin
Asyrofi, Hand out metodologi pengajaran bahasa arab, (yogyakarta:2013)
[4] Laily
sholihatin, dkk, Makalah Nadzariyatul Furu’
dan Nadzariyatul Wahdah (Yogyakarta: 2013)
[5]
Syamsuddin Asyrofi, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, (Yogyakarta :
Penerbit Idea Press Yogyakarta, 2010) hal.115
[6] Ibid,
[7]Ibid,
[9] http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/makalah-tentang-penddikan-agama-islam/
Bagaimana cara agar saya dapat mengakses karya ilmiah ini?
BalasHapus