Pages

Jumat, 12 Oktober 2012

Kebaikan Orang Tua vs Balasan Kita


Kebaikan Orang Tua vs Balasan Kita


Saat kita berusia 1 tahun, orangtua memandikan dan merawat kita. Sebagai balasannya, kita malah menangis ditengah malam.
Saat kita berusia 2 tahun, orangtua mengajari kita berjalan. Sebagai balasan, kita malah kabur ketika orangtua memanggil kita.
Saat kita berusia 3 tahun, orangtua memasakkan makanan kesukaan kita. Sebagai balasan, kita malah menumpahkannya.
Saat kita berusia 4 tahun, orangtua memberi kita pensil berwarna. Sebagai balasan, kita malah mencoret-coret dinding dengan pensil tersebut.
Saat kita berusia 5 tahun, orangtua membelikan kita baju yang bagus-bagus. Sebagai balasan, kita malah mengotorinya dengan bermain-main di lumpur.
Saat kita berusia 10 tahun, orangtua membayar mahal-mahal uang sekolah dan uang les kita. Sebagai balasan, kita malah malas-malasan bahkan bolos.
Saat kita berusia 11 tahun, orangtua mengantarkan kita kemana-mana. Sebagai balasan, kita malah tidak mengucapkan salam ketika keluar rumah.
Saat kita berusia 12 tahun, orangtua mengizinkan kita menonton di bioskop dan acara lain di luar rumah bersama teman-teman kita. Sebagai balasan, kita malah meminta orangtua duduk di barisan lain, terpisah dari kita dan teman-teman kita.
Saat kita berusia 13 tahun, orangtua membayar biaya kemah, biaya pramuka, dan biaya liburan kita. Sebagai balasan, kita malah tidak memberinya kabar ketika kita berada di luar rumah.
Saat kita berusia 14 tahun, orang tua pulang kerja dan ingin memeluk kita. Sebagai balasan, kita malah menolak dan mengeluh, “Papa, Mama, aku sudah besar!”.
Saat kita berusia 17 tahun, orangtua sedang menunggu telepon yang penting, sementara kita malah asyik menelepon teman-teman kita yang sama sekali tidak penting.
Saat kita berusia 18 tahun, orangtua menangis terharu ketika kita lulus SMA. Sebagai balasan, kita malah berpesta semalaman dan baru pulang keesokan harinya.
Saat kita berusia 19 tahun, orangtua membayar biaya kuliah kita dan mengantar kita ke kampus pada hari pertama. Sebagai balasan, kita malah meminta mereka berhenti jauh-jauh dari gerbang kampus dan menghardik, “Papa, Mama, aku malu! Aku kan sudah gede!”.
Saat kita berusia 22 tahun, orangtua memeluk kita dengan haru ketika kita diwisuda. Sebagai balasan, kita malah bertanya kepadanya, “Papa, Mama, mana hadiahnya? Katanya mau membelikan aku ini dan itu?”.
Saat kita berusia 23 tahun, orangtua membelikan kita sebuah barang yang kita idam-idamkan. Sebagai balasan, kita malah mencela, “Duh! Kalau mau beli apa-apa untuk aku, bilang-bilang dong! Aku kan nggak suka model seperti ini!”.
Saat kita berusia 29 tahun, orangtua membantu membiayai pernikahan kita. Sebagai balasan, kita malah pindah ke luar kota, meninggalkan mereka, dan menghubungi mereka hanya dua kali setahun.
Saat kita berusia 30 tahun, orangtua memberi tahu kita bagaimana cara merawat bayi. Sebagai balasan, kita malah berkata, “Papa, Mama, zaman sekarang sudah beda. Nggak perlu lagi cara-cara seperti dulu”.
Saat kita berusia 40 tahun, orangtua sakit-sakitan dan membutuhkan perawatan. Sebagai balasan, kita malah beralasan, “Papa, Mama, aku sudah berkeluarga. Aku punya tanggung jawab terhadap keluargaku”.
Dan entah kata-kata apalagi yang pernah kita ucapkan kepada orangtua. Bukan mustahil, itu yang menyumbat rezeki dan kebahagiaan kita selama ini. [Source: Buku #7KR]

Siapa Manusia Paling Baik, Bertakwa dan Berkecukupan?


رُوِيَ عَنْ عَليِّ بنِ الحُسَينِ (عليهما السلام) قَالَمَنْ عَمِلَ بِمَا افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَهُوَ مِنْ خَيْرِ النَّاسِ وَ مَنِ اجْتَنَبَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَهُوَ مِنْ أَعْبَدِ النَّاسِ وَ مِنْ أَوْرَعِ النَّاسِ وَ مَنْ قَنِعَ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَهُ فَهُوَ مِنْ أَغْنَى النَّاسِ.
 
Diriwayatkan Imam Ali Zainal Abidin as berkata: "Barang siapa mengamalkan apa yang diwajibkan oleh Allah kepadanya, maka dia termasuk manusia terbaik, dan barang siapa menjauhkan diri dari apa yang diharamkan oleh Allah kepadanya, maka dia termasuk manusia yang paling menghamba dan paling wara' (bertakwa), dan barang siapa yang merasa cukup dengan apa yang telah ditetapkan Allah untuknya, maka dia termasuk manusia paling berkecukupan."

Ayatullah Mojtaba Tehrani menjelaskan, "Hadis ini dinukil oleh Abu Hamzah Tsumali. Imam Ali Zainal Abinin dalam riwayat ini memperkenalkan manusia yang terbaik di dunia, yaitu orang yang melaksanakan kewajiban dan tugasnya seperti yang telah ditentukan oleh Allah. Dengan demikian, Imam mendefinisikan manusia terbaik tidak seperti yang ada di otak saya dan kalian. Manusia yang baik adalah yang mengerjakan tugas dan kewajibannya, yang melunasi utang-utangnya di hadapan Allah. Seperti itulah manusia yang baik."

"Jika dalam bagian tadi disebutkan hal yang berkaitan dengan awamir atau perintah, maka selanjutnya Imam menjelaskan tentang nawahi atau larangan-larangan. Bahwa orang yang menjauhkan diri dari apa saja yang diharamkan oleh Allah Swt maka dia termasuk manusia yang paling menghamba dan paling wara' (bertakwa). Dalam riwayat, Imam tidak menyebutkan bahwa manusia itu adalah hamba, melainkan yang paling menghamba. Mengapa Imam tidak menyebutkan, «مِنْ أَتقی النَّاس» yang artinya orang yang paling bertakwa. Karena derajat wara' lebih tinggi dari takwa."

"Berikutnya, jika seseorang ridho atas apa yang telah ditetapkan Allah Swt untuknya, maka dia termasuk manusia yang paling berkecukupan. Berkecukupan yang disebutkan oleh Imam dalam riwayat ini adalah masalah batin, bukan lahiriyah. Bagaimana kita mengartikan kecukupan itu? Kita selalu mengaitkan berkecukupan itu dengan masalah-masalah lahiriyah seperti uang dan kekayaan. Akan tetapi Imam mengartikannya berbeda."

"Dalam agama, berkecukupan adalah sebuah kondisi batin, yaitu ketika manusia merasa tidak memerlukan apapun dari makhluk dan dia hanya bergantung kepada Allah swt. Karena hanya Allah Swt Yang Maha Kaya. Inilah yang membuat manusia merasakan ketenangan jiwa. Ketika itu dia tidak akan kebingungan mengetuk pintu sana-sini. Merasa berkecukupan adalah sebuah kondisi batin karena jika tidak orang kaya pun selalu membutuhkan."

sumber: irib

Rabu, 10 Oktober 2012

KARBALA

ciri-ciri orang yang berakal

Ayatullah Mojtaba Tehrani menjelaskan, "Orang yang berakal memiliki empat kriteria. Pertama, yang mengenal Tuhannya dan langsung menaatinya. Dalam hadis ini disebutkan kata  عَرَفَ bukanعَلِم . Arofa berarti mengenal sementara alima berarti mengetahui. Penggunaan keduanya sangat berbeda. Alima memiliki sisi konseptual sementara arofa memiliki sisi substansif.Arofa berarti hamba merasakan kehadiran Tuhannya, bukan hanya ada pengertian tentang Tuhan dalam benaknya. Terkadang seseorang berhadapan dengan beberapa hal dalam hidupnya kemudian dia berkata: baru sekarang aku mengenal Allah!"

"Kita juga sama seperti itu, ketika kita melihat sebuah masalah yang sangat sulit terselesaikan, ternyata dapat terurai, kemudian kita berkata: sungguh aneh, ternyata kita tidak mengenal Allah Swt selama ini! Ketika kita mengatakan itu sesunggunya, kita mengatakan arofa bukan alima."

"Rasulullah bersabda hamba yang mengenal Tuhannya, yakni ketika dia menyadari ada wujud yang lebih tinggi yang mengendalikan kehidupan. Nabi bersabda orang yang mengenal Tuhannya, maka dia akan menaati-Nya."

"Kedua, orang yang mengenal musuhnya. Ketika dia mengenal keberadaan musuh, maka dia akan mengingkarinya dalam arti tidak mematuhinya. Di sini yang dimaksud musuh adalah setan. Hawa nafsu liar."

"Ketiga, orang yang mengenal tempat tinggalnya. Tempat tinggal di sini adalah kebalikan dari kepergian (safar). Ketika dia mengenal tempat tinggalnya yang sejati, maka dia akan membenahinya. Membenahi tempat tinggal yang sementara dan tidak akan bertahan lama, berarti kebodohan, karena orang yang berakal tidak akan membangun dan membenahi tempat tinggal yang sementara."

"Keempat, orang yang mengenal cepatnya waktu berlalu. Kita tahu bahwa kita semakin dekat dengan kematian! Kita akan pergi dari dunia ini! Setiap saat berlalu, maka kita akan selangkah lebih dekat dengan kematikan! Rasulullah tidak bersabda bahwa manusia akan meninggalkan dunia ini, akan tetapi beliau bersabda, betapa cepatnya wakut berlalu. Jika dia memahami masalah ini, maka orang yang berakal akan dengan cepat mengumpulkan bekal karena tidak tidak ada pengulangan."

sumber: indonesia.irib.ir