Pages

Minggu, 25 Oktober 2015

MANUSIA DALAM PANDANGAN ISLAM

MANUSIA DALAM PANDANGAN ISLAM

Disusun Oleh :
1.      Fatimah Azzahra M.   12420007
2.      Eka Sri Ramadhani     12420009
3.      Ari Nurwijayanti         12420010








JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Manusia dalam Pandangan Islam”.
Makalah ini berisikan tentang pengertian manusia, asal-usul manusia, manusia menurut pandangan Islam dan kaitanya manusia dengan pendidikan Islam. Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada pembaca, dan kita semua tentang hakikat manusia menurut pandangan islam.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal hingga akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Yogyakarta, 26 September 2013


Penyusun







BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang Masalah
Alam semesta, bumi beserta segala macam isinya merupakan ciptaan Allah SWT yang sangat luar biasa, tiada seorang pun yang mampu menandingi segala ciptaan-Nya. Langit tanpa tiang, bumi yang bulat dan terus berputar, planet-planet yang melintasi orbitnya, hewan, tumbuhan, manusia serta berbagai makhluk lainnya yang berada di alam semesta ini yang menjadi hiasan kerajaan alam semesta, mereka semua merupakan keajaiban terindah di alam semesta ini.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang sebaik-baik bentuk. Manusia dibekali Tuhan akal pikiran untuk mempertahankan hidupnya dari segala macam rintangan dan cobaan. Akal pikiran inilah yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Dengan kemampuan manusia berfikir, berbuat, berencana menurut logika itulah manusia mampu menciptakan ilmu pengetahuan modern seperti teknologi, kedokteran dan lain-lain. Dengan akal pikiran pada manusia, dapat menaklukkan makhluk lainnya dan dapat mempergunakan segala yang ada di atas bumi dan perut bumi untuk kepentingan umat manusia.[1]
Manusia sebagai hamba Allah SWT, memiliki tugas penting sebagai khalifah di muka bumi ini untuk mengatur segala macam kepentingan umat manusia. Menepati dengan hakikat tadi maka untuk mempergunakan ketuanan dan kekuasaan yang diberikan demi untuk menguasai alam benda dan alam semesta ini bagi faedah dan kepentingan tugasnya itu, manusia memerlukan ilmu.[2]
Oleh karena itu maka manusia perlu memiliki ilmu melalui pendidikan. Untuk lebih jelasnya penyusun akan mengantarkan pembaca pada pengertian manusia, manusia sebagai khalifah dan kaitan manusia dengan pendidikan islam, berikut penjelasannya yang akan disampaikan pada makalah ini, semoga bermanfaat.
B.       Rumusan Masalah
1.    Apakah manusia itu?
2.    Bagaimana asal-usul manusia?
3.    Bagaimana manusia menurut pandangan Islam (segi-segi positif dan negatifnya)?
4.    Apa kaitannya manusia dengan pendidikan Islam?
C.       Tujuan Penulisan
1.    Mengetahui pengertian manusia.
2.    Mengetahui asal-usul manusia.
3.    Mengetahui manusia menurut pandangan Islam.
4.    Mengetahui kaitannya manusia dengan pendidikan Islam.

















BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Manusia
Apakah manusia itu? Untuk mengetahuinya dalam hal ini ada beberapa pandangan dan pengertian tentang manusia yang dikemukakan oleh beberapa ahli, yaitu:
1.    Homo Sapiens kata Linnaeus, artinya makhluk yang mempunyai budi (akal), dan ahli agama Kristan menyebut dia “animal rationale” yaitu binatang yang berpikiran.
2.    Homo Loquen, kata Revesz dalam “Das Problem des Ursprungs der Sprache”, yaitu makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan pikiran dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun.
3.    Homo Faber, menurut kata Bergson dalam “L’evolusion Creatrice” yaitu makhluk yang “tukang” dia pandai membuat alat perkakas.
4.    Zoon Politikon, kata Aristoteles dan lagi katanya animal ridens, makhluk yang ada humor “yang bisa ketawa”.
5.    Homo Religious, yaitu manusia dasarnya beragama.[3]
Hal ini dapat juga kita jumpai dalam Al-Quran bahwa manusia itu mempunyai naluri beragama.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah; tetap atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menuruti fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allh; (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.[4] (QS. Ar-rum: 30)
Fitrah Allah maksudnya ialah: Ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu adalah hanya lantaran pengaruh lingkungan. [5]
6.    Homo divinans, manusia itu khalifah Tuhan.[6]
Dalam Al-Quran disebutkan juga bahwa manusia itu adalah sebagai khalifah Tuhan. Allah berfirman:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman pada Malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.”(QS. Al-Baqarah: 30)[7]
7.    Homo Ekonomicus, yaitu manusia itu takluk pada undang-undang ekonomi dan dia bersifat ekonomis.[8]
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapatlah diambil suatu pengertian yang baru, bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang mempunyai akal pikiran, dinamis dan berkembang mampu mewujudkan segala inspirasi di dalam bentuk bahasa, hidup bermasyarakat dan mempunyai fitrah (naluri) beragama (tauhid).[9]
B.       Asal-usul Manusia
Bila kita mengarahkan akal pikiran terhadap alam maujud ini baik itu berupa tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang dan juga kepada manusia sendiri maka nyatalah bagi kita suatu fakta dimana semuanya menghasilkan individu-individu yang serupa dengan induknya.
Kemudian dengan serta merta akal pikiran kita dihadapkan kepada beberapa pertanyaan, kapankah reproduksi itu mulai dan apakah tidak ada permulaannya, ada dengan sendirinya tanpa membutuhkan kepada peng-ada-annya, ataukah memang alam ini dengan eksistensinya diadakan oleh kekuasaan Allah Yang Maha Esa.
Dengan berbagai macam metode dan penyeldikan ahli-ahli pikir telah berusaha mencoba memecahkan problem ini diantaranya ialah: ilmu pengetahuan alam memberi suatu gambaran dari alam dan menerangkan dengan perantara pengamatan dan dengan cara menghubungkan hasil-hasil pengamatannya itu melalui akalnya.[10]
Bagaimana pula konsepsi Al-Qur’an tentang asal-usul manusia ini? Bila kita membuka lembaran Al-Qur’an seraya menelitinya dengan jujur dan konsekuen maka kita akan menemukan suatu konsep yang padat, berisi dan lengkap tidak ada keraguan sedikitpun didalamnya.
Sebagai ahli agama yang sesungguhnya ialah mereka yang paham betul-betul dasar-dasar agama dari sumber-sumber yang terpercaya tanpa dipengaruhi oleh orang lain, atau gambaran prasangka mereka; juga tidak dipengaruhi oleh sementara pembahasan yang tidak berdasar kepada ilmu pengetahuan yang benar.[11]
اَفَحَسِبْتُمْ اَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَاَنَّكُمْ اِلَيْنَا لَا تُرْجَعُوْنَ . المؤمنون : 115
Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya kamu menciptakan secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami.
Dalam al-Qur’an kejadian manusia pertama dan dari apa manusia itu diciptakan oleh tuhan, maka dapat kita membacanya dalam kitab suci-Nya. Allah berfirman:
وَ لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَاٍ مَسْنُوْنٍ.الحجر:26
Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia (Adam) dari sari tanah liat yang kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.
Disamping itu Allah berfirman pada surah dan ayat yang lain:
فَاِذَا سَوَّيْتُه وَ نَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُوْحِى فَقَعُوْا لَهُ سَاجِدِيْنَ الحجر:29
Demikianlah keterangan kitab suci Al-Qur’an tentang penciptaan manusia yang pertama. Adapun mengenai kelanjutan penciptaan manusia setelah adam a.s. ialah melalui keturunan dapat diketahui melalui firman Allah sebagai berikut:
فَلْيَنْظُرِ الْاِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ. خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ. يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَ التَّرَائِبِ الطارق:
7-5
Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan. Dia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.
Demikianlah konsep-konsep Al-Qur’an tentang penciptaan manusia dari keturunannya yang dapat kita mengerti secara terang dan mudah tanpa membutuhkan suatu analisa yang rumit, yang serin menjerumuskan kita kepada kesalahan.
Maka dengan mempelajari konseo-konsep Al-Qur’an tentang penciptaan manusia, secara otomatis telah menolak dan mebatalkan teori evolusi Darwin yang menyatakan bahwa manusia ini telah berevolusi dari bentuk yang sangat sederhana kemudian menjadi binatang kera dan akhirnya menjadi Homo Sapiens yang mempunyai akal budi atau binatang berfikir. Kalau demikian alangkah rendahnya derajat manusia ini, tak terkecuali Darwin sendiri berasal dari binatang.
Tapi Al-Qur’an justru menjunjung tinggi derajat manusia dan mengutamakan manusia dari segala makhluk lainnya, baik dari segi bentuknya maupun kelengkapannya didalam hidup dan kehidupannya.
C.       Manusia Menurut Pandangan Islam
Telah di jelaskan pada penjelasan sebelumnya tentang pengertian manusia. Begitu banyak macam dan ragam “defenisi” manusia, hingga pengertian yang lebih esensial menjadi tetap dipertanyakan lagi: apakah manusia itu? Padahal kita semua adalah manusia. Hal itu barangkali mengisyaratkan kekurangan manusia mengenal diri sendiri. Di depan, ketika membicarakan eksistensi manusia sudah penulis singgung, bahkan agak panjang lebar. Banyak orang memandang manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani, terdiri dari jiwa dan raga. Ada beberapa pakar mengajukan thesis: manusia adalah makhluk yang terdiri dari jasmani, akal, dan rohani. Sedangkan pemulis menawarkan pengertian, manusia adalah makhluk yang terdiri dari: fisik, psikis, dan rohani. Ternyata manusia memang makhluk unik, hingga menyeragamkan defenisinya saja sangat sukar. Tapi biarlah yang unik tetap unik.[12]
Manusia, dalam pandangan Islam, selalu dikaitkan dengan suatu kisah tersendiri. Di dalamnya, manusia tidak semata-mata digambarkan sebagai hewan tingkat tinggi yang berkuku pipih, berjalan dengan dua kaki, dan pandai berbicara. Lebih dari itu, menurut Al-Qur’an, manusia lebih luhur dan gaib daripada apa yang dapat didefinisikan oleh kata-kata tersebut. Dalam Al-Qur’an, manusia berulang-ulang diangkat derajatnya, berulang-ulang pula direndahkan. Mereka dinobatkan jauh mengungguli alam surga, bumi, dan bahkan para malaikat; tetapi, pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti dibandingkan dengan setan terkutuk dan binatang jahanam sekalipun. Manusia dihargai sebagai makhluk yang mampu menaklukan alam, namun bisa saja mereka merosot menjadi “yang paling rendah dari segala yang rendah”. Oleh karena itu, makhluk manusia sendirilah yang harus menetapkan sikap dan menentukan nasib akhir mereka sendiri.
Ø  Segi-Segi Positif Manusia
1.        Manusia adalah Khalifah Tuhan di bumi
Ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah...?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.” (QSAl-Baqarah [2]:30)
Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi.., untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. (QS Al-An’am [6]: 165)
2.        Dibandingkan dengan semua makhluk yang lain,manusia mempunyai kapasitan inteligensi yang paling tinggi.
3.        Manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan. Dengan kata lain, manusia sadar akan kehadiran Tuhan jauh di dasar sanubari mereka. Jadi, segala keraguan dan keingkaran kepada Tuhan muncul ketika manusia menyimpang dari fitrah mereka sendiri.
4.        Manusia, dalam fitrahnya, memiliki sekumpulan unsur surgawi yang luhur, yang berbeda dengan unsur-unsur badani yang ada pada binatang, tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa. Unsur-unsur itu merupakan suatu senyawa antara alam nyata dan metafisis, antara rasa dan nonrasa (materi), antara jiwa dan raga.
5.        Penciptaan manusia benar-benar diperhitungkan secara teliti; bukan suatu kebetulan. Karena itu, manusia merupakan makhluk pilihan.
6.        Manusia bersifat bebas dan merdeka. Mereka diberi kepercayaan penuh oleh Tuhan, diberkahi dengan risalah yang diturunkan melalui para nabi,dan dikaruniai rasa tanggung jawab. Mereka diperintahkan untuk mencari nafkah di muka bumi dengan inisiatif dan jerih payah atau kesengsaraan bagi dirinya.
7.        Manusia dikaruniai pembawaan yang mulia dan martabat. Tuhan, pada kenyataannya, telah menganugerahi manusia dengan keunggulan atas makhluk-makhluk lain. Manusia akan menghargai dirinya sendiri hanya jika mereka mampu merasakan kemuliaan dan martabat tersebut, serta mau melepaska diri mereka dari kepicikan segala jenis kerendahan budi, penghambaan dan hawa nafsu.
8.        Manusia memiliki kesadaran moral. Mereka dapat membedakan yang baik dari yang jahat melalui inspirasi fitri yang ada pada mereka.
9.        Jiwa manusia tidakakan pernah damai, kecuali dengan mengingat Allah. Keinginan mereka tidak terbatas, mereka tidak pernah puas dengan apa yang mereka telah peroleh. Di lain pihak, mereka lebih berhasrat untuk ditinggikan ke arah perhubungan dengan Tuhan yang Maha Abadi.
10.    Segala bentuk karunia duniawi diciptakan untuk kepentingan manusia. Jadi, manusia berhak memanfaatkan itu semua dengan cara yang sah.
11.    Tuhan menciptakan manusia agar mereka menyembah-Nya dan tunduk patuh kepada-Nya menjadi tanggung jawab utama mereka.
12.    Manusia tidak dapat memahami dirinya, kecuali dalam sujudnya kepada Tuhan dan dengan mengingat-Nya. Jika mereka melupakan Tuhan, merekapun akan melupakan dirinya. Dalam keadaan demikian, mereka tidak akan tahu siapa diri mereka, untuk apa mereka ada, dan apa yang harus mereka perbuat.
13.    Setiap realitas yang tersembunyi akan dihadapkan kepada manusia semesta setelah mereka meninggal dan selubung ruh mereka disingkapkan.
14.    Manusia tidaklah semata-mata tersentuh oleh motivasi-motivasi duniawi saja. Dengan kata lain, kebutuhan bendawi bukanlah sau-satunya stimulus baginya; lebih dari itu, mereka selalu berupaya untuk meraih cita-cita dan aspirasi-aspirasi yang luhur dalam hidup mereka. Dalambanyak hal, manusia tidak mengejar satu pun  tujuan kecuali mengharap keridhaan Allah.
Kesimpulannya, Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai suatu makhluk pilihan Tuhan, sebagai makhluk yang semi-samawi dan semi-duniawi, yang di dalamdirinya ditanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semesta; serta karunia keunggulan atas alamsemesta, langit, dan bumi. Manuisa dipusakai dengan kecenderungan ke arah kebaikan maupun kejahatan. Kemaujudan mereka dimulai dari kelemahan dan ketidak mampuan, yang kemudian bergerak kearah kekuatan, tetapi itu tidak akan menghapus kegelisahan mereka, kecualin jika mereka dekat dengan Tuhan dan mengingat-Nya. Kapasitas mereka tidak terbatas, baik dalam kemampuan belajar maupun dalam menerapkan ilmu. Mereka memliki suatu keluhuran dan martabat naluriah. Motivasi dan pendorong mereka, dalam banyak hal, tidak bersifat kebendaan. Akhirnya, mereka dapat secara leluasa memanfaatkan rahmat dan karunia yang dilimpahkan kepada mereka, namun pada saat yang sama, mereka harus menunaikan kewajiban kepada Tuhan.
Ø  Segi-Segi Negatif Manusia
Di dalamAl-Qur’an, manusia juga banyak dicela. Mereka dinyatakan sebagai luar biasa keji dan bodoh. Al-Qur’an Suci menggambarkan mereka dengan cercaan-cercaan seperti berikut ini:
... Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (QS. Al-Ahzab[33]:72)
... Manusia benar-benar sangat mengingkari nikmat. (QS. Al-Hajj [22]: 66)
Apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring atau berdiri, tetapi setelah kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. (QS. Yunus [10]: 12)
... Adalah manusia itu sangat kikir. (QS. Al-Isra’ [17]: 100)
... Manusia adalah makhluk paling banyak membantah. (QS Al-Kahfi [18]: 54)
sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir; apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan ia amat kikir. (QS Al-Ma’arij [70]: 19-21).[13]
                                                                             
D.      Kaitannya Manusia dengan Pendidikan Islam
Dan mohonkanlah: Ya Tuhanku,tambahlah ilmu kepadaku. Thaha [20]: 144.
Tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk menghasilkan insan yang baik (Al-Attas, 1979). Sedangkan yang dimaksudkan dengan insan yang baik dengan sendirinya adalah orang beradab atau berpendidikan. Bagi seorang muslim,pendidikan tidak lepas dari sabda Rasulullah SAW:
“Kutinggalkan untuk kamu dua warisan, tak lah kamu akan tersesat selama-lamanya, selama kamu masih berpegang kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”.
Kalau kemudian kita renungkan bagaimana Al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Besar kita Muhammad SAW, kita tahu bahwa wahyu pertama berbunyi:
“Bacalah atas nama Penciptamu: yang telah menciptakan manusia dari segumpal nutfah; bacalah! Dan Tuhanmu Sangat Pemurah; yang telah mengajarkan penggunaan kalam; mengajari manusia hal-hal yang belum diketahuinya.” (Al-Alaq [96]: 1-5).
Wahyu terakhir yang diturunkan beberapa saat sebelum Rasulullah mangkat bunyinya ialah:
“Sadarilah akan adanya hari saat engkau semua dikembalikan kepada Allah, ketika setiap orang akan diganjari secara setimpal atas semua amal perbuatannya, dan tidak seorang pun akan dirugikan. (Al-Baqarah [2]: 28).
Di antara ayat pertama dan ayat terakhir itu, selama dua puluh tida tahun diturunkan wahyu-wahyu yang membentuk kitab Al-Qur’an sebagai petunjuk mengenai kehidupan dunia dan akhirat dalam bentuk pengetahuan agama, sosial-ekonomi, sejarah dan sains alam.
Apabila ada ayat-ayat yang kurang jelas, maka orang bertanya kepada Rasulullah atau mencatat kebiasaan-kebiasaannya dan kebiasaan-kebiasaan ini sebagai penjelas wahyu yang diturunkan.kumpulan kebiasaan inilah kemudian yang di samping Al-Qur’an itu sendiri, dijadikan warisan oleh Rasulullah kepada pengikutnya.
Dengan merenungkan cara pencipta kita menurunkan wahyu-Nya kepada Rasulullah untuk kemudian diteruskan kepada ummatnya, dapat kita simpulkan bahwa agama Islam bertumpu pada pendidikan untuk menjadikan manusia beradab. Caranya adalah dengan memerintahkan manusia membaca atas nama Allah SWT. Yang dibaca adalah ajaran-ajaran mengenai kehidupan dunia-akhirat. Bergantung pada ikhtiar orang membaca ajaran-ajaran ini yang kemudian harus diamalkannya, ia akan diganjari secara setimpal amal perbuatannya. Tidaklah mengherankan apabila Muhammad Asad dalam buku terjemah dan tafsirnya “The Message of the Quran” mencantumkan kalimat persembahan yang berbunyi: لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ dan maknanya:
“For People who think” atau “untuk kaum yang berpikir”.
Bagaimana kiranya metode pendidikan menurut Islam? Dari cara Al-Qur’an terkumpul, tersirat pelajaran bahwa pengetahuan harus diajarkan secara bertahap dan bertumpu pada keadaan atau suasana, karena Al-Qur’an juga berisi ayat-ayata yang menyangkut kejadian-kejadian sosial dan alam, bagi seorang muslim tidak cukup bekalnya untuk mencoba menghayati isi Al-Qur’an, apabila ia tidak juga mengikuti perkembangan ilmu seperlunya yang sesuai dengan keadaan dan suasana.
Selain itu dari makna yang tersirat pada ayat ang pertama dan terakhir diturunkan dapat disimpulkan bahwa mempelajari Islam harus dimulai dengan proses mengetahui dan kemudian harus mencapai proses amal perbuatan. Antara proses mengetahui dan proses amal perbuatan itu harus ada proses penghayatan hal-hal yang diketahui sebelumnya itu. Berdasarkan proses penghayatan itulah kemudian kita melakukan amal perbuatan. Kalau proses penghayatan kita salah, amal perbuatan kita akan mendapat ganjaran yang buruk, kalau proses penghayatan kita baik, kita pun akhirnya akan mendapat ganjaran yang baik.
Hikmah lain yang dapat kita ambil adalah bahwa setiap pengetahuan yang muncul sebagai hasil pemikiran dan perlu diajarkan kepada orang lain karena bermanfaat sebaiknya direkam dalam bentuk tulisan agar dapat diamalkan lebih luas. Ayat-ayat yang telah diturunkan sebagai wahyu direkam dalam bentuk hafalan dan tulisan yang tersebar mulai dihimpun dalam satu mushaf setelah para sahabat yang hafal akan ayat-ayat itu mulai berguguran. Penghimpunan ayat-ayat yang lepas itu dalam bentuk surah-surah adalah suatu petunjuk pula bahwa keseluruhan ayat-ayat itu harus dianggap sebagai satu sistem yang menyeluruh.
“Dan Kami turunkan kepada engkau Al-Kitab untuk menjadi penjelasan bagi segala sesuatu.” (An-Nahl [16]: 89).
Dengan mengkaji ayat-ayat Al-Quran secara lepas kita tidak akan dapat gambaran yang menyeluruh akan sulit sekali mewariskan semuanya itu kepada angkatan berikutnya. Lain halnya apabila ayat-ayat itu sudah dikelompokkan-kelompokkan atas petnjuk yang sudah diberikan sebelumnya oleh Rasulullah. Usaha seperti ini juga dilakukan orang dalam menyusun ilmu pengetahuan dari pengetahuan-pengetahuan lepas yang ditemukan orang. Melalui penataan menjadi suatu kerangka yang bersistem terjadilah ilmu pengetahuan yang mengaitkan butir-butir pengetahuan itu sehingga menampilkan ketaraturan-keteraturan. Bedanya dengan penataan ayat-ayat menjadi surah –surah dalam Al-Quran adalah sesuatu yang baku, sedangkan pada ilmu pengetahuan hal itu bergantung pada selera penyusunannya.
Sekarang mari kita kaji kembali metode pengajaran yang tersirat dari peristiwa turunnya wahyu kepada Rasulullah itu dengan menggunakan pola berpikir psikologi pendidikan. Sebagai rujukan akan kita gunakan pemikiran Bloom et al (1956). Menurut Bloom, metode pengajaran mencakup tiga kawasan utama, yaitu kawasan kognitif, afektif, dan psikomotor.
Kawasan kognitif  mencakup metode-metode yang berkenaan dengan mengingat dan mengenali kembali bahan yang telah dipelajari serta mengembangkan kemampuan intelektual serta ketrampilan. Kawasan afektif menyangkut penggugahan perhatian, sikap, dan nilai, serta pengembangan penghargaan dan penyesuaian terhadapbahan yang dipelajari. Kawasan psikomotor berkenaan dengan ketrampilan menangani secara fisik.
Dalam gagasan kognitif dapat diadakan penggolongan tingkatan kemajuan,yaitu tingkat pengetahuan, tingkat pemahaman, tingkat penerapan, tingkat analisis, tingkat sintesis, dan tingkat penilaian.
Tingkat pengetahuan dicapai seseorang yang telah mampu melakukan proses berpikir untuk mengenal dan mengingat kembali. Tingkat pemahaman dan penerapan dicapai seseorang yang telah mampu berpikir menurut pola yang diberikan dalam pelajaran serta berdasar pengalaman itu dapat menyimpulkan secara umum. Tingkat analisis dan sintesis dicapai oleh seseorang yang sudah mampu menggunakan jalan pikirannya untuk meniliti secara terbuka atas dasar pengetahuan yang diperolehnya sebagai hasil mengikuti pelajaran.
Kalau orang yang mempelajari agama Islam bahasa ibunya bukan bahasa Arab, maka proses berpikirnya akan terhenti pada tingkat pemahaman. Kecuali kalau ia berkesempatan mempelajari bahasa Arab bukan hanya dari buku, tetapi juga dengan menyelami kehidupan suku-suku yang berbahasa Arab klasik di jazirah Arab (Assad,1980). Di sinilah peran yang diharapkan dari penuntut-penuntut agama Islam.
Dipandang dari segi kewajiban, fardu ain bagi setiap muslim untuk mempelajari agama Islam. Tetapi bagi bangsa-bangsa yang bahasa bunya bukan bahsa Arab, pada tingkatan tertentu ia perlu mendapat bantuan dan tuntunan dari para ulama untuk dapat memahami dan mendalami isi Al-Quran itu dalam bentuk petunjuk-petunjuk berupa tafsir dalam bahasa nasional. Sebagian orang berpendapat bahwa setiap muslim wajib menguasai bahasa Arab dengan selancar-lancarnya sehingga ia dapat berusaha memahami Al-Quran langsung dari bahasa Arabnya. Alasannya adalah bahwa tidak ada seorang pun yang dapat menterjemahkan ayat-ayat Al-Quran dengan tepat.
Akan tetapi kalau hal itu dituntut dari setiap orang keahliannya bukan ilmu agama, akibatnya adalah bahwa ia akan tertinggal mengembangkan ilmu duniawi yang dipelajarinyasecara fardu kifayah. Hal ini akan mengakibatkan bahwa setiap ilmuwan duniawi muslim selalu akan tertinggal beberapalangkah di belakang para ilmuwan bukan muslim yang dapat menggunakan sepenuh waktunya mempelajari ilmu-ilmu duniawi. Akhirnya hal itu akan menjadi hambatan bagi perkembangan umat Islam.
Sebaliknya, bagi seorang muslim yang memilih menjadi ilmuwan agama, pilihan itu menurut hemat saya harus dianggap fardu kifayah. Tetapi kalau ia telah mengambil putusan mengenai pilihan ini maka fardu baginya untuk juga sedikit-sedikit mengikuti perkembangan salah satu ilmu duniawi agar kemampuannya mendalami ilmu agama meningkat.[14]



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Adapun beberapa pengertian tentang manusia diantaranya:
     Homo Sapiens kata Linnaeus, artinya makhluk yang mempunyai budi (akal), dan ahli agama Kristan menyebut dia “animal rationale” yaitu binatang yang berpikiran.
     Zoon Politikon, kata Aristoteles dan lagi katanya animal ridens, makhluk yang ada humor “yang bisa ketawa”.
     Homo Religious, yaitu manusia dasarnya beragama.[15]
Hal ini dapat juga kita jumpai dalam Al-Quran bahwa manusia itu mempunyai naluri beragama.
     Homo divinans, manusia itu khalifah Tuhan.[16]
     Dalam Al-Quran disebutkan juga bahwa manusia itu adalah sebagai khalifah Tuhan.
Dalam al-Qur’an kejadian manusia pertama dan dari apa manusia itu diciptakan oleh tuhan, maka dapat kita membacanya dalam kitab suci-Nya. Allah berfirman:
وَ لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَاٍ مَسْنُوْنٍ.الحجر:26
Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia (Adam) dari sari tanah liat yang kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.




Ø  Segi-Segi Positif Manusia
J  Manusia adalah Khalifah Tuhan di bumi
J  Dibandingkan dengan semua makhluk yang lain,manusia mempunyai kapasitan inteligensi yang paling tinggi.
J  Manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan.
J  Manusia bersifat bebas dan merdeka.
J  Manusia dikaruniai pembawaan yang mulia dan martabat.
Ø  Segi-Segi Negatif Manusia
... Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (QS. Al-Ahzab[33]:72)
... Manusia benar-benar sangat mengingkari nikmat. (QS. Al-Hajj [22]: 66)
... Adalah manusia itu sangat kikir. (QS. Al-Isra’ [17]: 100)
... Manusia adalah makhluk paling banyak membantah. (QS Al-Kahfi [18]: 54)
Tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk menghasilkan insan yang baik (Al-Attas, 1979). Sedangkan yang dimaksudkan dengan insan yang baik dengan sendirinya adalah orang beradab atau berpendidikan.
DAFTAR PUSTAKA

Pulungan, Syahid Mu’ammar, 1984, Manusia dalam Al-Qur’an, Surabaya: PT Bina Ilmu.
Aziz, Abd., 2008, Manusia Sebagai Khalifah Allah di Muka Bumi, http://ctu101.blogspot.com/2008/04/manusia-sebagai-khalifah-allah-di-muka.html, diakses 26 September 2013 jam 10.08.
Asifudin, Ahmad Janan, 2009, Mengungkit Pilar-pilar Pendidikan Islam (Tinjauan Filosofis), Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press UIN Sunan Kalijaga.
Muthahhari, Murtadha, 2007, Manusia dan Agama Membumikan Kitab Suci, Bandung: PT Mizan Pustaka.
Nasution, Andi Hakim, 1986, Manusia: Khalifah di Bumi, Jakarta: Litera Antarnusa.



[1]  Drs. Syahid Mu’ammar Pulungan, Manusia dalam Al-Qur’an, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1984, halaman 17.
[2]  Ustaz Abd Aziz bin Harjin, Manusia Sebagai Khalifah Allah di Muka Bumi, http://ctu101.blogspot.com/2008/04/manusia-sebagai-khalifah-allah-di-muka.html, diakses 26 September 2013 jam 10.08.
[3]  Adi Negoro, Ensiklopedi Umum dalam Bahasa Indonesia, Pustaka CV Bulan Bintang, p. 235, dalam buku (Drs, Syahid Mu’ammar Pulungan, Manusia dalam Al-Qur’an, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1984, halaman 16).
[4]  Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahannya, Percetakan Yamunu, Jakarta, 1970, p. 645, dalam buku (Drs. Syahid Mu’ammar Pulungan, Manusia dalam Al-Qur’an, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1984, halaman 16).
[5] Departemen Agama RI., Op cit., p. 645
[6] Departemen Agama RI., Loc cit.
[7] Departemen Agama RI., Loc cit.
[8] Departemen Agama RI., Op cit., p. 13.
[9] Adi Negoro, Loc cit.
[10] Drs. Syahid Mu’ammar Pulungan., Op Cit., halaman 23.
[11] Ibid, halaman 29
[12] Ahmad Janan Asifudin, Mungungkit Pilar-pilar Pendidikan Islam (Tinjauan Filosofi), Sunan Kalijaga Press UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009, halaman 45.
[13]  Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama, Membumikan Kitab Suci, PT Mizan Pustaka, Bandung, 2007, halaman 129-135.
[14] Haji Andi Hakim Nasution, Manusia: Khalifah di Bumi, Litera Antarnusa, Jakarta, 1986 halaman 11-17.
[15]  Adi Negoro, Ensiklopedi Umum dalam Bahasa Indonesia, Pustaka CV Bulan Bintang, p. 235, dalam buku (Drs, Syahid Mu’ammar Pulungan, Manusia dalam Al-Qur’an, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1984, halaman 16).
[16] Departemen Agama RI., Loc cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar