BEHAVIORISME
Disusun
Oleh :
Fatimah
Azzahra Mutmainnah 12420007
JURUSAN
PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Perubahan
di dalam masyarakat Amerika membuka jalan bagi studi prilaku (Leahey, 1992).
Kota-kota industri menggantikan komunitas pdesaan dan migran urban perlu
keterampilan baru. Selain itu, filsafat Amerika yang baru muncul, pragmatisme,
menyebut konsekuensi (hasil) konkret sebagai batu uji untuk memvalidasi ide (h.
312). Dengan kata lain, kebenara adalah “hal-hal yang bisa dilakukan”.
Dalam
konteks ini, John Watson mendukung studi perilaku. Alasannya adalah
respons-respons tertentu biasanya disebabkan oleh peristiwa (stimuli) tertentu.
Dengan mempelajari perilaku, psikolog akan mampu memprediksi respons yang
ditimbulkan lewat stimulus, dan sebaliknya. Ketika tujuan ini tercapai,
psikologi akan menjadi ilmu eksperimental objektif (Watson, 1913). Selain itu,
disiplin ini akan memberikan pengetahuan yang berguna bagi pendidik, ahli
fisika, pemimpin bisnis, dan sebagainya.
Setelah
mendalami studi perilaku, Watson menemukan riset refleks-motorik dari psikologi
Rusia, V.M. Bekheterev (bukan Ivan Pavlov seperti yang selama ini dipercaya
umum [Boakes, 1934; Coleman, 1988]). Karya Bekheterev adalah penting karena dia
berhasil memanipulasi reaksi behavioral didalam laboratorium. Setelah membaca
riset itu, Watson makin percaya bahwa kontrol perilaku di dunia nyata akan
segera dapat dilakukan. Prediksinya ternyata keliru, tetapi pendapatnya sangat
memengaruhi penggunaan metode riset dan pengukuran yang dilakukan para psikolog (Kratochwill & bijou, 1987).[1]
Behaviorisme
dalam salah satu pengertiannya adalah suatu teori psikologi, namun dalam
pengertian lain ia telah “membongkar” batas-batas perhatian psikologi
tradisional dan mengembangkan suatu teori kependidikan yang mengoptimalkan
metodologi ilmiah dan “objektivitas”. Behaviorisme amat lekat dengan
anggapan-anggapan pokok sains kealaman. Aliran yang berkembang pada pertengahan
abad 20 ini mendapat dukungan kuat dari kalangan komunitas bisnis yang
mementingkan hasil-hasil langsung dan kelihatan, efisiensi serta keekonomisan.[2]
2.
Rumusan Masalah
1)
Apa yang dimaksud dengan behaviorisme dan teori belajar behavioristik? Dan
jelaskan pandangan aliran behaviorisme terhadap bahasa!
2)
Jelaskan timbulnya behaviorisme!
3)
Apa yang dimaksud dengan teori belajar pengkondisian klasik dan teori
belajar operan?
4)
Jelaskan aplikasi teori behavioristik
dalam pembelajaran!
5)
Bagaimana cara mengembangkan perilaku menurut teori pembelajaran
behavioristik?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Behaviorisme dan Teori Belajar Behavioristik
Behaviorisme atau Aliran
Perilaku (juga disebut Perspektif Belajar) adalah filosofi dalam psikologi yang
berdasar pada proposisi bahwa semua yang dilakukan organisme — termasuk
tindakan, pikiran, atau perasaan— dapat dan harus dianggap sebagai perilaku. Aliran ini
berpendapat bahwa perilaku demikian dapat digambarkan secara ilmiah tanpa melihat peristiwa fisiologis internal atau konstrak
hipotetis seperti pikiran. Behaviorisme beranggapan bahwa semua teori harus
memiliki dasar yang bisa diamati tapi tidak ada perbedaan antara proses yang
dapat diamati secara publik (seperti tindakan) dengan proses yang diamati
secara pribadi (seperti pikiran dan perasaan).
Tokoh-tokoh terkenal tentang masalah
ini diantaranya adalah:
Sedangkan
teori belajar behavioristik adalah
sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai
hasil dari pengalaman.
Teori
ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap
arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran
behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak
sebagai hasil belajar.
Teori
behavioristik dengan model
hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu
yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan
atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143).
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan
perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang
berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang
diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan
pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang
terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena
tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus
dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh
pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan
pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi
atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor
lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan
(reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka
respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan
(negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Beberapa
prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1)
Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3)
Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in
Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh
aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan
dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta
peranannya dalam pembelajaran.
Menurut
Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus
adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan
respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat
pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah
laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati,
atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme
sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara
mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut
pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada
tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2)
hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini
menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.[4]
Pandangan
behaviorisme terhadap bahasa
Kaum
behavioris menekankan bahwa proses pemerolehan bahasa pertama dikendalikan dari
luar diri si anak, yaitu oleh rangsangan yang diberikan melalaui lingkungan.
Istilah ‘bahasa’ bagi kaum behavioris dianggap kurang tepat karena istilah itu
menyiratkan suatu wujud, sesuatu yang dimiliki atau digunakan bukanlah sesuatu
yang digunakan. Padahal bahasa adalah suatu perilaku diantara perilaku-perilaku
lainnya. Oleh sebab itu, behavioris menggunakan istilah perilaku verbal (verbal
behavior).
Kemampuan berbicara dan memahami bahasa diperoleh melalui
rangsangan lingkungan. Anak hanya merupakan penerima pasif dari tekanan
lingkungan. Anak tidak memiliki peran aktif dalam perilaku verbalnya. Dalam
behaviorisme, proses perkembangan bahasa pada anak ditentukan oleh lamanya
latihan yang diberikan oleh lingkungannya
Lebih jauh, kaidah gramatikal atau kaidah bahasa
merupakan perilaku verbal yang memungkinkan seseorang dapat menjawab dan mengatakan
sesuatu. Namun, jika kemudian anak dapat berbicara, hal ini bukanlah karena
penguasaan kaidah (rule governed) tetapi karena anak tidak dapat
mengungkapkan kaidah bahasa, melainkan secara langsung oleh faktor dari luar
dirinya.
Dalam pandangan ini, anak dianggap tidak menguasai
kaidah bahasa atau memiliki kemampuan mengabstrakkan ciri-ciri penting bahasa
di lingkungannya. Kaum behavioris berpendapat rangsangan (stimulus) dari
lingkungan tertentu memperkuat kemampuan berbahasa anak. Perkembangan bahasa
dipandang sebagai suatu kemajuan dari pengungkapan verbal yang berlaku secara
acak sampai pada kemampuan yang sebenarnya untuk berkomunikasi melalui prinsip
pertalian S-R (stimulus-respons) dan proses peniruan.[5]
B.
Timbulnya Behaviorisme
Adanya
kekurangan pada strukturalisme maupun fungsionalisme mendorong timbulnya
gerakan lain yang menguraikan peranan yang berbeda bagi psikologi.
Keterbatasan
Pandangan yang Mula-mula. Masalah yang muncul
bersamaan dengan pandangan strukturalisme ada kaitannya dengan tujuan dasar
gerakan tersebut. Dalam upaya mengebangkan ilmu”murni” yang dapat menjelaskan
fikiran orang secara umu tidak dilakukan penelitian terhadap binatang.
Alih-alih, kaum strukturalis mengandalkan intropeksi, yang berupa laporan diri
mengenai proses fikira diri sendiri. Hasil yang tidak ajeg dan tidak adanya
kesepakatan diantara para psikolog mengenai arti istilah-istilah seperti
kesadaran, bayangan fikiran, dan perasaan menimbulkan jalan buntu bagi
penelitian.
Akan
tetapi, masalah yang lebih parah ialah bahwa strukturalisme tetap terasing dari
arus perkembangan baru psikologi. Dengan menolak konsep evolusi, srtukturalisme
juga mengabaikan arah yang ditempuh kebanyakan ahli psikologi yang mengutamakan
segi penerapan. Sebagai akibatnya, gerakan tersebut resmi berakhir dalam 1972
dngan meninggalnya pemimpin paham itu, Edward Titchener.
Sempitnya
pandangan strukturalisme membawa matinya gerakan tersebut. Berlawanan dengan
itu,peranan luas dan berbagai-bagai yang diajukan fungsionalisme membela
pendapat bahwa psikologi harus meliputi tingkah-laku, fungsi proses mental, dan
hubungan fikiran-badan (angell,1907). Meskipun toleransi bagi keberbagaian ini
telah mencegah terjadinya disiplin ilmu yang steril, faham ini kurang dalam hal
organisasi dan fokusnya.
Rasional
Bagi Behaviorisme. Ketidakmampuan
strukturalisme dan fungsionalisme menyusun metode penelitian yang tepat
batasannya dan pokok kajian yang jelas batasannya menimbulkan iklim bagi
terjadinya perubahan. Dalam kajian itu, John B. Watson melancarkan gerakan
untuk mempelajari ingkah-laku alih-alih proses atau peri keadaan fikiran orang.
Didalam
karangan “Psychology as the Behaviorist Views It”, terbit tahun 1913, Watson
menjelaskan soal mempelajari tingkah laku. Selama lebih dari 60 tahun, tutur
Watson, psikologi gagal menjadikan dirinya sebagai suatu ilmu pengetahuan alam.
Titik pusat kajiannya pada kesadaran dan proses mental telah menjuruskan
psikologi ke jalan buntu dan pokok-pokok
kajiannya “lusuh karena terlalu banyak digarap” (Watson, 1913, hlm. 174). Lagi
pula, bila yang dijadikanacuan penelitian ialah kesadaran manusia, kaum
behavioris terpaksa mengabaikan semua data yang tidak ada sangkut-pautnya
dengan proses mental manusia. Ilmu-ilmu lain, seperti fisika dan ilmu kimia,
menurut Watson tidak sedemikian membatasi dalam memberikan definisi atas
pokok-poko kajiannya sampai-sampai menentukan informasi mana yang harus dibuang
karena tidak bisa digunakan.
Karena
itu, bagi psikologi titik-tolaknya haruslah fakta tetang penyesuaian oleh
organisme berupa respons-respons terhadap lingkungannya (Watson, 1913).
Mengingat bahwa respons-respons tertentu muncul menyusul stimulus tertentu maka
para ahli psikologi harus bisa meramalkan respons dari stimulus, dan demikian
pula sebaliknya. Menurut Watson, bila maksud ini tercapai, maka psikologi akan
menjadi ilmu yang obyektif dan eksperimental sifatnya. Tambahan pula, disiplin
ini juga akan memberikan pengetahuan yang berguna bagi pendidik, dokter,
pemimpin dunia usaha, dan sebagainya.
Metode
Bagi Behaviorisme. Setelah menyerukan agar
orang mempelajari tingkah-laku, Watson berkenalan dengan penelitian refleks
oleh V.M Bekheterev, seorang ahli fisiologi bangsa Rusia. Refleks-refleks
seperti retraksi jari ditimbulkan oleh penglihatan dan bunyi yang diasosiasikan
dengan storm listrik (Murphy, 1949). Bekheterev juga berteori bahwa kebiasaan
yang kompeks itu tersusun atas asosiasi-asosiasi refleks yang serupa.
Prosedur
yang digunakan agar stimulus yang abru lambat laun mempunyai kekuatan
menimbulkan respons-respons refleks dikenal sebagai kondisioning klasik.
Penelitian-penelitian mengenai ini yang amat terkenal yang dilakukan oleh Ivan
Pavlov; untuk penelitiannya ini ia menerima hadiah nobel tahun 1904. Pavlov
mencatat, bahwa air liur binatang itu
sebelum disajikan daging kepada binatang percobaan tadi. Ia mulai meneliti
peranan stimulus yang berlain-lainan dalam menimbulkan refleks pada binatang
(Murphy, 1949).
Kondisonig
klasik dipakai untuk memola konsep behaviorisme. Metodenya menyampingkan semua
acuan pada keadaan mentaldan mulai pelaksanaannya. Demikianlah, tidak seperti
halnya metode laboraorium trial and error Thorndike, kondisioning memperlihatkan bahwa respons-respons
behavioral itu dapat dimanipulasikan di dalam laboratorium. Artinya, stimulus
baru dapat dibuar untuk menimbulkan refleks tertentu. Disitulah terletak
harapan bahwa ilmu tentang tingkah-laku dapat dikembangkan didalam laboratorium
psikologi.
Dalam
suatu eksperimen yang sekarang menjadi terkenal, Watson berhasil mnkondisikan
reaksi bayi takut seorang bayi usia 11 bulan, Albert, pada seekor tikus putih
dan obyek-obyek berbulu lain. Ia menyimpulkan bahwa behaviorisme merupakan
mekanisme yang dapat memberikan landasan hidup. Dalam gaya persuasifnya seperti
bisanya Watson (1925) memberikan pernyataan tentang kebolehan kondisioning:
Berikan
kepada saya selusin bayi yang sehat dan dalam keadaan baik, dengan lingkungan
yang saya tentukan sendiri untuk mengasuhnya, saya jamin kalau saya mengambil
secara acak maka saya akan melarihnya menjadi ahli apapun yang saya mau
pilih—dokter, pengacara, seniman, pedagang – tak pandang bakatnya, kesukaannya,
kecenderungannnya, kemampuannya, bakat khususnya, dan suku bangsa leluhurnya.
(hlm. 65).
Tak
perlu dikatakan lagi, segera saja behaviorisme menjadi populer. Metodenya yang
sederhana untuk mengkondisioning respons dan barunya prosedur telah menyebabkan
dilakukannyapenerapan-penerapan eksperimen-eksperimen dalam jumlah besar. Dalam
tahun 1920-an, hampir setiap psikolog tampaknya adalah behavioris belaka dan
rupanya tak seorangpun yang sependapat dengan lainnya (Boring,1950). Istilah
“behaviorisme” menjadi lekat dengan beberapa perkembangan, termasuk penelitian
tertentu, data obyektif pada umumnya, pandangan materialistik psikologi, dan
sebagainya.
Watson
juga percaya behaviorisme akan menempatkan psikologi dalam peringkat ilmu
“sejati” bersama-sama dengan ilm binatang, fisiologi, ilmu kimia fisika, dan
lain-lain. Pandangan yang sama mengenai potensi behaviorisme ini diulang oleh
B. F. Skinner dalam tahun-tahun 1950-an.[6]
C.
Teori Belajar Pengkondisian Klasik dan Teori Belajar
Operan
Ð Teori Belajar Pengkondisian
Klasik
Satu diantara
teori belajar conditioning tanpa penguatan adalah pengkondisian klasik (classical
conditioning) atau pavlovianism mengikuti nama peletak dasar aliran
ini, yaitu Ivan Petrovitch Pavlov(1849-1936). Eksperimen terkenal terhadap
refleks dilakukan di laboratorium Ivan Pavlov. Kisah riset Pavlov
memperlihatkan seorang ilmuwan kesepian yang secara tidak sengaja menemukan cara
untuk mengontrol perilaku sederhana saat meneliti refleks keluarnya air luir
anjing. Dia sendiri, demikian menurut kisahnya,
menemukan bahwa reaksi tidak sengaja, keluarnya air liur, dapat dilatih untuk
merespons suara yang tidak berhubungan dengan makanan. Tetapi, Pavlov
sebenarnya bukan ilmuwan penyendiri. Dia memimpin beberapa laboratorium, yang
menghasilkan lebih dari 530 riset dari 1897 hingga 1936. Sebagai direktur
laboratorium, Pavlov memantau kerja mereka, namun dia sendiri jarang melakukan
eksperimen (Todes, 1997; windholz, 1997).
Riset di
Laboraturium Pavlov
Fokus dari riset yang
diawasi oleh Pavlov adalah refleks air liur anjing. Selama jalannya riset,
seorang mahasiswa periset menemukan bahwa “menggoda” anjing dari jarak jauh
akan menimbulkan keluarnya air liur. Juga, makanan yang kering dan lembab yang
dilihat anjing dari kejauhan akan menimbulkan air liur (Windholz, 1997, h 242).
Pavlov pada mulanya menyebut reaksi air liur ini sebagai refleks yang
dikondisikan.
Riset berkutnya oleh
V.N. Boldyrev meemukan bahwa refleks air liur ini bisa dilatih untuk merespons
(dikondisikan) objek-objek atau kejadian dari modalitas indrawi –suara,
penglihatan, atau sentuhan (Windholz,
1997). Misalnya, suara garpu diperdengarkan sebelum disajikan kepada anjing.
Setelah beberapa kali penjajaran suara dan makanan, suara garpu saja sudah
cukup untuk membuat air liur keluar.
Riset di laboratorium
Pavlov ini penting karena dua sebab. Pertama, ia menunujukkan bahwa
reaksi keluar air liur adalah refleks-reaksi spontan yang terjadi otomatis
ketika menerima stimulus tertentu. Kedua, mengubah relasi alamiah antara
stimulus dan reaksi itu dianggap sebagai terobosan penting dalam studi prilaku.
Memanipulasi reaksi sederhana sekalipun sudah cukup untuk menunjukkan bahwa
penyebab perilaku yang lebh komplek sangat mungkin untuk diketahui. Reaksi itu
menunjukkanpotensi laboratorium dalam menemukan pengetahuan baru.[7]
Temuan Pavlov
ialah bahwa sekali suatu respons dikondisikan, selanjutnya akan dihasilkan
respons yang sama dengan yang diakibatkan oleh stimulus lain, seperti stimulus
berkondisi. Pavlov menamakannya stimulus generalisasi. Dalam eksperimen
selanjutnya sekali berlangsung kondisi bunyi lonceng, bunyi lonceng lain yang
berbeda dari lonceng semula, juga akan menghasilkan respons air liur. Dari
contoh tersebut bahwa bentuk tingkah laku itu dan banyak lagi yang ebrhasi
karena melibatkan respons terkondisi.
Untuk
pembelajaran luar sekolah, perlakuan pengkondisian kelas dapat dilaksanakan
kepada warga belajar untuk mencapai hasil maksimal. Istilah pengkondisian kelas
digunakan untuk membedakan tipe belajar yang dikembagkan oleh Pavlov dengan
tipe belajar yang dikembangkan B.F Skinner. Kata classical itu digunakan untuk
menghargai percobaan Pavlov yang didasarkan pada penelitian eksperimental
orisinal dalam arti klasik (classic)
Ð Teori Belajar Pengkondisian
Operan
Hukum akibat yang menyatakan bahwa hubungan antara
stimulus dan respons akan menguat bila menimbulkan akibat memuaskan dan akan
melemah bila sebaliknya, dikembangkan lebih lanjut dan secara mendalam oleh
skinner dalam Operant Conditioning-nya .[8]
Skinner memulai eksperimennya dengan menciptakan sebuah kotak (kemudian disebut
kotak Skinner) dilengkapi sebatang balok yang dapat ditekan dan seuah talam
berisi makanan. Ia kemudian memasukkan seekor tikus kelaparan kedalam kotak
tersebut. Karena ingin melakukan sesuatu, tikus eksperimen mondar-mandir
didalam kotak dan tiba-tiba menyentuh balok dan ternyata berhasil mengeuarkan
butiran makanan yang terjatuh kedalam talam. Tikus eksperimen memperoleh
pelajaran bahwa butir makanan akan keluar apabila balok ditekan. Tikun akan
lebih sering menekan balok karena tingkah laku itu memberikan penguatan berupa
keluarnya makanan. Tanpa menekan balok, butiran makanan berhenti keluar.
Eksperimen dapat pula dilakukan dengan menghentikan keluarnya butiran makanan
walaupun tikus menekan balok. Dengan demikian, tikus akan berhenti menekan
balok. Tanpa penguatan, terjadi penghentian (extinction) kegiatan.
Dari uraian itu dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan
antara classical conditioning dari Pavlov dan operant conditioning dari
Skinner. Pada classical conditioning, anjing eksperimen bersikap pasif hanya
menunggu bunyi lonceng, sedang tikus eksperimen Skinner bersikap aktif,
penguatan berupa butiran makanan keluar apabila tikus menyentuh
(mengoperasikan) balok.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
pada hakikatnya serupa dengan prosedur pendekatan S-R. Fasilitator seseyogyanya
berperan sebagai progamer, berusaha membentuk respons peserta belajar untuk
menghasilkan perilaku akhir seperti yang telah ditetapkan sebagai tujuan
pembelajaran.
Menurut Skinner, operant conditioning harus
menggunakan efek penghargaan efek penghargaan dan hukuman. Prinsip dasar operant
conditioning ialah perilaku ditentukan oleh konsekuensinya. Orang tidak
bertingkah laku menurut kebiasaan acak, tetapi bertingkah laku untuk mencapai
tujuan yang diinginkan. Melalui pengalaman, tujuan lebih mungkin dicapai jika
orang bertingkah laku menurut cara tertentu.
D.
Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah
pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah
aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang
tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan
stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif.
Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan
semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan
akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari
beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran,
karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang
bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan
telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan,
sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke
orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk
menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat
dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir
seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut.
Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan
yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang
harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif
yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu,
para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan
standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para
pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya
pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak
teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur
rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada
aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan
dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih
banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam
penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan
keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang
pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai
penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang
berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh
sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan
pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut
pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam
bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran
menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti
urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum
secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku
teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi
buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil
belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.[9]
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.[9]
E.
Pengembangan Perilaku Perspektif Teori belajar Behavioristik
Prosedur-prosedur pengembangan tingkah laku baru
Di samping penggunaan reinforcement untuk memperkuat tingkah laku, ada dua
metode lain yang penting untuk mengembangkan pola tingkah laku baru yakni
shaping dan modelling.
∑
Shaping
Kebanyakan yang diajarkan di sekolah adalah urutan tingkah laku yang
kompleks, bukan hanya “simple response”. Tingkah laku yang kompleks ini dapat
diajarkan melalui proses “shaping” atau “successive approximations” (menguatkan
komponen-komponen respon final dalam usaha mengarahkan subyek kepada respon
final tersebut), beberapa tingkah laku yang mendekati respon. Bila guru
membimbing siswa menuju pencapaian tujuan dengan memberikan reinforcement pada
langkah-langkah menuju keberhasilan, maka guru itu menggunakan teknik yang
disebut shaping. Reinforcement dan extinction merupakan alat agar terbentuknya
tingkah laku operant baru.
Frazier dalam (Sri Esti,2006: 139) menyampaikan penggunaan shaping untuk
memperbaiki tingkah laku belajar. Ia mengemukakan lima langkah perbaikan
tingkah laku belajar murid antara lain:
ü Datang di kelas pada waktunya.
ü Berpartisipasi dalam belajar dan merespon guru.
ü Menunjukkan hasil-hasil tes dengan baik.
ü Mengerjakan pokerjaan rumah.
ü Penyempurnaan.
Hasil dari lima komponen untuk memperbaiki tingkah laku menunjukkan bahwa
kehadiran masuk sekolah bertambah setelah beberapa bulan. Yang lebih penting
lagi ialah para siswa menjadi lebih bisa bekerja sama di kelas dan menggunakan
waktu belajar mereka lebih efektif.
∑
Modelling.
Modelling adalah suatu bentuk belajar yang dapat diterangkan secara tepat
oleh classical conditioning maupun oleh operant conditioning. Dalam modelling,
seorang individu belajar menyaksikan tingkah laku orang lain sebagai model.
Tingkah laku manusia lebih banyak dipelajari melalui modeling, sehingga
kadang-kadang disebut belajar dengan pengajaran langsung. Pola bahasa, gaya
pakaian, dan musik dipelajari dengan mengamati tingkah laku orang lain.
Modelling dapat terjadi, baik dengan “direct reinforcement” maupun dengan
“vicarious reinforcement”. Contohnya seseorang yang menjadi idola kita menawarkan produk tertentu di layar TV.
Kita akan merasa senang jika bisa memakai produk serupa.
Sangat mungkin kita belajar meniru karena di-reinforced untuk melakukannya.
Hampir sebagian besar anak mempunyai pengalaman belajar pertama termasuk
reinforcement langsung dengan meniru model (orang tuanya). Hal yang biasa jika
kita mendengar bahwa anak kita dengan bangga mengatakan, bahwa dia telah
mengerjakan sebagaimana yang telah dikerjakan orang tuanya. Modelling juga dapat dipakai untuk
mengajarkan keterampilan-ketrampilan akademis dan motorik.
Clarizio (1981) memberi contoh bagus tentang bagaimana guru menggunakan
modelling untuk mengembangkan semangat murid-murid terhadap literatur bahasa Inggris. la memberi contoh membaca
buku bahasa Inggris kadang-kadang tertawa terbahak-bahak, tersenyum,
mengerutkan dahi dan sebagainya, untuk membangkitkan semangat anak terhadap buku itu.
Modelling
bisa diterapkan di SEKOLAH dengan mengambil guru maupun orang lain atau anak
lain yang sebaya sebagai model dari suatu tingkah laku, mungkin pelajaran
akidah akhlak, Qur’an Hadits, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan lain-lain. Berkaitan dengan pengajaran keterampilan motorik dan akademis. Sekelompok siswa diajak ke suatu tempat di mana
terdapat sesuatu yang bisa ditiru oleh anak atau menghadirkan model tersebut ke
dalam kelas/ sekolah.
Prosedur-prosedur Pengendalian atau Perbaikan Tingkah Laku.
# Memperkuat Tingkah Laku Bersaing
Dalam usaha merubah tingkah laku yang tak diinginkan diadakan penguatan
tingkah laku yang diinginkan seperti dengan kegiatan –
kegiatan kerjasama, membaca dan bekerja di satu meja untuk mengatasi
kelakuan-kelakuan menentang, melamun, dan hilir mudik.
#
Ekstingsi
Ekstingsi ialah proses di mana suatu operant yang telah terbentuk tidak
mendapat reinforcement lagi. Ekstingsi dilakukan dengan membuat/meniadakan
peristiwa-peristiwa penguat tingkah laku. Ekstingsi dapat dipakai bersama-sama
dengan metode lain seperti “modelling dan social reinforcement”.
#
Satiasi
Satiasi adalah suatu prosedur menyuruh seseorang melakukan perbuatan
berulang-ulang sehingga ia menjadi lelah atau jera. Contoh: seorang ayah yang
memergoki anak kecilnya merokok menyuruh anak merokok sampai habis satu pak
sehingga anak itu bosan.
Krumboltz dan Krumboltz (1972) menyatakan jika tingkah laku yang diulang berbeda dengan tingkah laku yang tidak diinginkan maka satiasi tidak tepat. Yang tepat adalah menerapkan metode disiplin seperti menulis 100 kali. Guru sebaiknya mencoba memperkuat tingkah laku yang tepat untuk menggantikan tingkah laku yang tidak diinginkan.
Krumboltz dan Krumboltz (1972) menyatakan jika tingkah laku yang diulang berbeda dengan tingkah laku yang tidak diinginkan maka satiasi tidak tepat. Yang tepat adalah menerapkan metode disiplin seperti menulis 100 kali. Guru sebaiknya mencoba memperkuat tingkah laku yang tepat untuk menggantikan tingkah laku yang tidak diinginkan.
Perubahan Lingkungan Stimuli
Beberapa tingkah laku dapat dikendalikan oleh perubahan kondisi stimuli
yang mempengaruhi tingkah laku itu. Jika murid terganggu oleh suara gaduh di
luar kelas, ketukan jendela dapat menghentikan gangguan itu. Jika suatu tugas
yang sulit mengecewakan murid, maka guru dapat mengganti dengan tugas yang
kurang begitu sulit. Jika di kelas ada dua orang murid yang termenung saja,
guru dapat menghampiri atau duduk di dekat mereka.¬
Hukuman
Untuk memperbaiki tingkah laku, hukuman hendaknya dite¬rapkan di kelas dengan bijaksana. Hukuman dapat mengatasi tingkah laku yang tak diinginkan dalam waktu singkat, untuk itu perlu disertai dengan reinforcement. Hukuman menunjukkan apa yang tak boleh dilakukan murid, sedangkan reward menunjukkan apa yang mesti di¬lakukan oleh murid.
Bukti menunjukkan, bahwa hukuman atas kelakuan murid yang tak pantas lebih efektif daripada tidak menghukum.
Untuk memperbaiki tingkah laku, hukuman hendaknya dite¬rapkan di kelas dengan bijaksana. Hukuman dapat mengatasi tingkah laku yang tak diinginkan dalam waktu singkat, untuk itu perlu disertai dengan reinforcement. Hukuman menunjukkan apa yang tak boleh dilakukan murid, sedangkan reward menunjukkan apa yang mesti di¬lakukan oleh murid.
Bukti menunjukkan, bahwa hukuman atas kelakuan murid yang tak pantas lebih efektif daripada tidak menghukum.
Ada dua bentuk hukuman:
o Pemberian stimulus derita, seperti: bentakan, cemoohan,
atau ancaman.
o Pembatalan perlakuan positif, seperti: mengambil kembali suatu mainan atau mencegah anak untuk bermain-main
bersama teman-temannya.
Harus kita ingat dalam memberikan hukuman, bahwa hukuman sering tidak
disetujui oleh kelompok teman sebaya. Sia-sialah guru menghukum seorang anak
jika teman–temannya kelihatan tidak setuju terhadap hukuman itu. Hukuman
hendaknya dilaksanakan Iangsung, secara kalem, diser¬tai reinforcement dan
konsisten.
Langkah-langkah Dasar Modifikasi Tingkah Laku
Berikut ini adalah langkah-langkah bagi guru SEKOLAH dalam mengadakan
analisa dan modifikasi tingkah laku pada peserta didik:
Mendefinisikan dan menyatakan secara operasional tingkah laku yang dapat
diubah. Contoh, guru mendefinisikan dan menyatakan secara operasional tingkah
laku yang akan diubah. Guru menulis tingkah laku khusus pada papan yang
ditempelkan di kelas: (a) ”Saya akan tetap di tempat duduk, kecuali diberi izin
untuk meninggalkannya” dan (b) ”Saya tidak akan bicara dengan teman dan gaduh
selama mengikuti pelajaran.
Melakukan pengamatan terhadap frekuensi tingkah laku yang perlu diubah. Contohnya, berapa kali siswa meninggalkan tempat duduk dalam waktu satu jam atau
selama pelajaran berlangsung? Guru kemudian membuat catatan rata-rata
pelanggaran dari aturan yang dia buat. Dia mengacak 12 observasi yang dia
lakukan selama 5 menit tiap hari dalam beberapa hari. Ditemukan bahwa rata-rata
siswa meninggalkan tempat duduk 12 kali. Bicara dengan teman selama mengikuti
pelajaran rata-rata 15 kali dalam satu hari. Dan sebagainya.
Menciptakan situasi belajar atau treatment sehingga terjadi tingkah laku
yang diinginkan. Sebelum memulai reinforcement untuk tingkah laku yang tepat,
cobalah periksa untuk menentukan apakah individu dapat mengatasi hambatan
sehingga sampai pada tingkah laku yang diinginkan seperti dengan penataaan verbal atau dengan mengembangkan suatu situasi di mana tingkah laku
yang kita inginkan itu barangkali terjadi. Contoh, “marilah anak-anak kita
bersihkan masjid agar bisa kita pakai untuk sholat berjamaah.”
Mengidentifikasi “reinforcers” yang potensial. Suatu stimuli tidak
diperkuat secara tepat. Selain itu, apakah diperkuat pada suatu waktu tidak
akan diperkuat lagi. Contoh, guru menciptakan ‘menu’ dari reinforcement dengan
meminta siswa untuk mengisi suatu survey
reinforcement. Angket ini menanyakan tentang kegiatan yang mereka lakukan di
kelas, makanan yang mereka sukai, barang-barang yang mereka sukai, dan
lain-lain.
Memperkuat tingkah laku yang diinginkan, dan jika perlu menggunakan
prosedur-prosedur untuk memperlemah tingkah laku yang tidak pantas.
Contohnya, guru memberi system token kepada kelas. Ia menjelaskan bagaimana setiap
siswa akan mendapatkan angka setiap kali guru ‘menangkap’ siswa mengikuti
aturan kelas. Angka ini dicatat oleh guru pada kartu identitas dan kemudian
akan dibagikan pada hari tertentu.
Menyusun rekaman/ catatan tingkah laku yang diperkuat untuk menentukan
kekuatan-kekuatan atau frekuensi respon telah bertambah. Dengan membandingkan
kemajuan pada waktu perlakuan (treatment) atau pada waktu belajar pada awal
atau pada pertengahan belajar, kita akan tahu apakah kemungkinan reinforcement
akan mempunyai dampak pada modifikasi tingkah laku. Jika reinforcement tidak
berpengaruh pada tingkah laku, kita kemudian harus menentukan mengapa hal itu
terjadi kemudian membuat penyesuaian. Seperti , guru berusaha menimalisir tingkah laku siswa yang tidak diinginkan agar
pada gilirannya tingkah laku tersebut tidak muncul sama sekali.
Pengajaran Terprogram
Pengajaran terprogram menerapkan prinsip-prinsip “operant conditioning”
bagi belajar siswa di sekolah. Pengajaran ini ber¬langsung seperti halnya paket
pengajaran diri sendiri yang menyajikan suatu topik yang disusun secara cermat
untuk dipelajari dan dikerjakan oleh murid. Tiap-tiap pekerjaan murid langsung
diberi “feedback”. Program dapat tertuang dalam buku-buku, mesin-mesin
meng¬ajar, atau komputer (Computer Asisten Instruction).
Pengajaran terprogram berusaha memajukan belajar dengan:
*
Memerinci bahan pelajaran
menjadi unit-unit kecil.
*
Memaksa murid mereaksi
unit-unit kecil itu.
*
Memberitahukan hasil
belajar secara langsung, dan
*
Memberi kesempatan
untuk bekerja sendiri.
Ada bermacam-macarn pengajaran terprogram, antara lain:
Program linear:
program ini dikembangkan oleh Skinner. Penyusun Program menentukan urut-urutan
kegiatan murid untuk menyelesai¬kan program. Tiap bagian program berisi
perincian kecil pengetahuan.
Program intrinsik atau
“branching program”: Program ini dikem¬bangkan oleh Croder. Dalam program ini
respon-respon murid menentukan rute atau arah kegiatan murid-murid menentukan
rute atau arah kegiatan murid itu. Rute-rute alternatif disebut “branches” yang
merupakan prediktor-prediktor permasalahan yang akan memperbaiki respon murid,
Crowder menggunakan peryataan-pernyataan pilihan ganda.
Dalam pengajaran terprogram ada tiga kelakuan pokok murid dalam belajar,
yaitu review, under-lining, dan note taking. Beberapa kriteria terhadap metode
peng¬ajaran terprogram, antara lain : kurang mengembangkan kreatifitas, kurang
memberi pengalaman humanisasi, kurang memberi kesempatan untuk merespon dengan
berbagai aktivitas.[10]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
♥
Behaviorisme atau Aliran
Perilaku (juga disebut Perspektif Belajar) adalah filosofi dalam psikologi yang berdasar pada proposisi bahwa semua yang dilakukan organisme —
termasuk tindakan, pikiran, atau perasaan— dapat dan harus dianggap sebagai
perilaku.
♥
teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan
oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai
hasil dari pengalaman.
♥
Kaum
behavioris menekankan bahwa proses pemerolehan bahasa pertama dikendalikan dari
luar diri si anak, yaitu oleh rangsangan yang diberikan melalaui lingkungan.
♥
Temuan Pavlov ialah bahwa sekali suatu respons dikondisikan, selanjutnya
akan dihasilkan respons yang sama dengan yang diakibatkan oleh stimulus lain,
seperti stimulus berkondisi. Pavlov menamakannya stimulus generalisasi. Untuk
pembelajaran luar sekolah, perlakuan pengkondisian kelas dapat dilaksanakan
kepada warga belajar untuk mencapai hasil maksimal. Istilah pengkondisian kelas
digunakan untuk membedakan tipe belajar yang dikembagkan oleh Pavlov dengan
tipe belajar yang dikembangkan B.F Skinner.
♥
Ada perbedaan antara classical conditioning dari Pavlov dan operant
conditioning dari Skinner. Pada classical conditioning, anjing eksperimen bersikap pasif hanya
menunggu bunyi lonceng, sedang tikus eksperimen Skinner bersikap aktif,
penguatan berupa butiran makanan keluar apabila tikus menyentuh
(mengoperasikan) balok.
♥
Menurut Skinner, operant conditioning harus menggunakan efek
penghargaan efek penghargaan dan hukuman. Prinsip dasar operant conditioning
ialah perilaku ditentukan oleh konsekuensinya. Orang tidak bertingkah laku
menurut kebiasaan acak, tetapi bertingkah laku untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Melalui pengalaman, tujuan lebih mungkin dicapai jika orang
bertingkah laku menurut cara tertentu.
♥
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari
beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran,
karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang
bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah.
♥
Di samping penggunaan
reinforcement untuk memperkuat tingkah laku, ada dua metode lain yang penting
untuk mengembangkan pola tingkah laku baru yakni shaping dan modelling.
♥
Prosedur-prosedur Pengendalian atau Perbaikan Tingkah Laku, yakni : memperkuat tingkah laku bersaing, ekstingsi, satiasi
♥
Adapun
langkah-langkah dasar modifikasi tingkah laku yaitu : mendefinisikan dan
menyatakan secara operasional tingkah laku yang dapat diubah, melakukan
pengamatan terhadap frekuensi tingkah laku yang perlu diubah, menciptakan
situasi belajar atau treatment sehingga terjadi tingkah laku yang diinginkan,
mengidentifikasi “reinforcers” yang potensial, memperkuat tingkah laku yang
diinginkan, dan jika perlu menggunakan prosedur-prosedur untuk memperlemah tingkah
laku yang tidak pantas, serta menyusun rekaman/ catatan tingkah laku yang
diperkuat untuk menentukan kekuatan-kekuatan atau frekuensi respon telah
bertambah.
DAFTAR PUSTAKA
Gredler,
Margaret E, Learning and Instruction; Teori dan Aplikasi,
Jakarta : Kencana,
2011
Zainal Arifin Ahmad, Ilmu
Pendidikan, Yogyakarta: 2010.
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik diakses tgl
31-10-2013 pkl 11.30
Nur, Rohmani
Indah dan Abdurrahman, Psikolinguistik konsep & isu umum, Malang:
UIN-Malang Press, 2008.
Gredler, Margaret E Bell, Belajar dan
Membelajarkan,
Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada 1994.
Nazri Syakur, Proses
psikolinguistik dalam pemerolehan bahasa, Yogyakarta: Bidang Akademik, 2008.
http://randhard.wordpress.com/ruang-admin/tugas-kuliah/teori-belajar-behavioristik-dan-penerapannya-dalam-pembelajaran/ diakses tg; 31-10-20113, pkl
11.32
[1] Margaret E. Gredler, Learning and Instruction; Teori dan
Aplikasi, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 43
[5] Rohmani Nur Indah dan Abdurrahman, Psikolinguistik konsep &
isu umum, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hal. 93-94
[6] Margaret E Bell Gredler, Belajar dan Membelajarkan (Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada 1994), hal 42-45
[7] Margaret E. Gredler, Learning and Instruction; Teori dan
Aplikasi, (Jakarta : Kencana, 2011), hal. 43-46.
[8] Nazri Syakur, Proses
psikolinguistik dalam pemerolehan bahasa, (Yogyakarta: Bidang Akademik,
2008)
[9] http://randhard.wordpress.com/ruang-admin/tugas-kuliah/teori-belajar-behavioristik-dan-penerapannya-dalam-pembelajaran/ diakses tgl 31-10-20113, pkl
11.32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar