Pages

Minggu, 25 Oktober 2015

BEHAVIORISME

BEHAVIORISME



Disusun Oleh :
Fatimah Azzahra Mutmainnah            12420007



JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013





BAB I
PENDAHULUAN
      1.            Latar Belakang
Perubahan di dalam masyarakat Amerika membuka jalan bagi studi prilaku (Leahey, 1992). Kota-kota industri menggantikan komunitas pdesaan dan migran urban perlu keterampilan baru. Selain itu, filsafat Amerika yang baru muncul, pragmatisme, menyebut konsekuensi (hasil) konkret sebagai batu uji untuk memvalidasi ide (h. 312). Dengan kata lain, kebenara adalah “hal-hal yang bisa dilakukan”.
Dalam konteks ini, John Watson mendukung studi perilaku. Alasannya adalah respons-respons tertentu biasanya disebabkan oleh peristiwa (stimuli) tertentu. Dengan mempelajari perilaku, psikolog akan mampu memprediksi respons yang ditimbulkan lewat stimulus, dan sebaliknya. Ketika tujuan ini tercapai, psikologi akan menjadi ilmu eksperimental objektif (Watson, 1913). Selain itu, disiplin ini akan memberikan pengetahuan yang berguna bagi pendidik, ahli fisika, pemimpin bisnis, dan sebagainya.
Setelah mendalami studi perilaku, Watson menemukan riset refleks-motorik dari psikologi Rusia, V.M. Bekheterev (bukan Ivan Pavlov seperti yang selama ini dipercaya umum [Boakes, 1934; Coleman, 1988]). Karya Bekheterev adalah penting karena dia berhasil memanipulasi reaksi behavioral didalam laboratorium. Setelah membaca riset itu, Watson makin percaya bahwa kontrol perilaku di dunia nyata akan segera dapat dilakukan. Prediksinya ternyata keliru, tetapi pendapatnya sangat memengaruhi penggunaan metode riset dan pengukuran yang dilakukan para  psikolog (Kratochwill & bijou, 1987).[1]
Behaviorisme dalam salah satu pengertiannya adalah suatu teori psikologi, namun dalam pengertian lain ia telah “membongkar” batas-batas perhatian psikologi tradisional dan mengembangkan suatu teori kependidikan yang mengoptimalkan metodologi ilmiah dan “objektivitas”. Behaviorisme amat lekat dengan anggapan-anggapan pokok sains kealaman. Aliran yang berkembang pada pertengahan abad 20 ini mendapat dukungan kuat dari kalangan komunitas bisnis yang mementingkan hasil-hasil langsung dan kelihatan, efisiensi serta keekonomisan.[2]






      2.            Rumusan Masalah
1)      Apa yang dimaksud dengan behaviorisme dan teori belajar behavioristik? Dan jelaskan pandangan aliran behaviorisme terhadap bahasa!
2)      Jelaskan timbulnya behaviorisme!
3)      Apa yang dimaksud dengan teori belajar pengkondisian klasik dan teori belajar operan?
4)      Jelaskan aplikasi teori behavioristik dalam pembelajaran!
5)      Bagaimana cara mengembangkan perilaku menurut teori pembelajaran behavioristik?





















BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian Behaviorisme dan Teori Belajar Behavioristik
Behaviorisme atau Aliran Perilaku (juga disebut Perspektif Belajar) adalah filosofi dalam psikologi yang berdasar pada proposisi bahwa semua yang dilakukan organisme — termasuk tindakan, pikiran, atau perasaan— dapat dan harus dianggap sebagai perilaku. Aliran ini berpendapat bahwa perilaku demikian dapat digambarkan secara ilmiah tanpa melihat peristiwa fisiologis internal atau konstrak hipotetis seperti pikiran. Behaviorisme beranggapan bahwa semua teori harus memiliki dasar yang bisa diamati tapi tidak ada perbedaan antara proses yang dapat diamati secara publik (seperti tindakan) dengan proses yang diamati secara pribadi (seperti pikiran dan perasaan).
Tokoh-tokoh terkenal tentang masalah ini diantaranya adalah:
Ì  John B. Watson, dan

Sedangkan teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.
Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.[4]

Pandangan behaviorisme terhadap bahasa
Kaum behavioris menekankan bahwa proses pemerolehan bahasa pertama dikendalikan dari luar diri si anak, yaitu oleh rangsangan yang diberikan melalaui lingkungan. Istilah ‘bahasa’ bagi kaum behavioris dianggap kurang tepat karena istilah itu menyiratkan suatu wujud, sesuatu yang dimiliki atau digunakan bukanlah sesuatu yang digunakan. Padahal bahasa adalah suatu perilaku diantara perilaku-perilaku lainnya. Oleh sebab itu, behavioris menggunakan istilah perilaku verbal (verbal behavior).
Kemampuan berbicara dan memahami bahasa diperoleh melalui rangsangan lingkungan. Anak hanya merupakan penerima pasif dari tekanan lingkungan. Anak tidak memiliki peran aktif dalam perilaku verbalnya. Dalam behaviorisme, proses perkembangan bahasa pada anak ditentukan oleh lamanya latihan yang diberikan oleh lingkungannya
Lebih jauh, kaidah gramatikal atau kaidah bahasa merupakan perilaku verbal yang memungkinkan seseorang dapat menjawab dan mengatakan sesuatu. Namun, jika kemudian anak dapat berbicara, hal ini bukanlah karena penguasaan kaidah (rule governed) tetapi karena anak tidak dapat mengungkapkan kaidah bahasa, melainkan secara langsung oleh faktor dari luar dirinya.
Dalam pandangan ini, anak dianggap tidak menguasai kaidah bahasa atau memiliki kemampuan mengabstrakkan ciri-ciri penting bahasa di lingkungannya. Kaum behavioris berpendapat rangsangan (stimulus) dari lingkungan tertentu memperkuat kemampuan berbahasa anak. Perkembangan bahasa dipandang sebagai suatu kemajuan dari pengungkapan verbal yang berlaku secara acak sampai pada kemampuan yang sebenarnya untuk berkomunikasi melalui prinsip pertalian S-R (stimulus-respons) dan proses peniruan.[5]

B.            Timbulnya Behaviorisme
Adanya kekurangan pada strukturalisme maupun fungsionalisme mendorong timbulnya gerakan lain yang menguraikan peranan yang berbeda bagi psikologi.
Keterbatasan Pandangan yang Mula-mula. Masalah yang muncul bersamaan dengan pandangan strukturalisme ada kaitannya dengan tujuan dasar gerakan tersebut. Dalam upaya mengebangkan ilmu”murni” yang dapat menjelaskan fikiran orang secara umu tidak dilakukan penelitian terhadap binatang. Alih-alih, kaum strukturalis mengandalkan intropeksi, yang berupa laporan diri mengenai proses fikira diri sendiri. Hasil yang tidak ajeg dan tidak adanya kesepakatan diantara para psikolog mengenai arti istilah-istilah seperti kesadaran, bayangan fikiran, dan perasaan menimbulkan jalan buntu bagi penelitian.
Akan tetapi, masalah yang lebih parah ialah bahwa strukturalisme tetap terasing dari arus perkembangan baru psikologi. Dengan menolak konsep evolusi, srtukturalisme juga mengabaikan arah yang ditempuh kebanyakan ahli psikologi yang mengutamakan segi penerapan. Sebagai akibatnya, gerakan tersebut resmi berakhir dalam 1972 dngan meninggalnya pemimpin paham itu, Edward Titchener.
Sempitnya pandangan strukturalisme membawa matinya gerakan tersebut. Berlawanan dengan itu,peranan luas dan berbagai-bagai yang diajukan fungsionalisme membela pendapat bahwa psikologi harus meliputi tingkah-laku, fungsi proses mental, dan hubungan fikiran-badan (angell,1907). Meskipun toleransi bagi keberbagaian ini telah mencegah terjadinya disiplin ilmu yang steril, faham ini kurang dalam hal organisasi dan fokusnya.
Rasional Bagi Behaviorisme. Ketidakmampuan strukturalisme dan fungsionalisme menyusun metode penelitian yang tepat batasannya dan pokok kajian yang jelas batasannya menimbulkan iklim bagi terjadinya perubahan. Dalam kajian itu, John B. Watson melancarkan gerakan untuk mempelajari ingkah-laku alih-alih proses atau peri keadaan fikiran orang.
Didalam karangan “Psychology as the Behaviorist Views It”, terbit tahun 1913, Watson menjelaskan soal mempelajari tingkah laku. Selama lebih dari 60 tahun, tutur Watson, psikologi gagal menjadikan dirinya sebagai suatu ilmu pengetahuan alam. Titik pusat kajiannya pada kesadaran dan proses mental telah menjuruskan psikologi ke jalan  buntu dan pokok-pokok kajiannya “lusuh karena terlalu banyak digarap” (Watson, 1913, hlm. 174). Lagi pula, bila yang dijadikanacuan penelitian ialah kesadaran manusia, kaum behavioris terpaksa mengabaikan semua data yang tidak ada sangkut-pautnya dengan proses mental manusia. Ilmu-ilmu lain, seperti fisika dan ilmu kimia, menurut Watson tidak sedemikian membatasi dalam memberikan definisi atas pokok-poko kajiannya sampai-sampai menentukan informasi mana yang harus dibuang karena tidak bisa digunakan.
Karena itu, bagi psikologi titik-tolaknya haruslah fakta tetang penyesuaian oleh organisme berupa respons-respons terhadap lingkungannya (Watson, 1913). Mengingat bahwa respons-respons tertentu muncul menyusul stimulus tertentu maka para ahli psikologi harus bisa meramalkan respons dari stimulus, dan demikian pula sebaliknya. Menurut Watson, bila maksud ini tercapai, maka psikologi akan menjadi ilmu yang obyektif dan eksperimental sifatnya. Tambahan pula, disiplin ini juga akan memberikan pengetahuan yang berguna bagi pendidik, dokter, pemimpin dunia usaha, dan sebagainya.
Metode Bagi Behaviorisme. Setelah menyerukan agar orang mempelajari tingkah-laku, Watson berkenalan dengan penelitian refleks oleh V.M Bekheterev, seorang ahli fisiologi bangsa Rusia. Refleks-refleks seperti retraksi jari ditimbulkan oleh penglihatan dan bunyi yang diasosiasikan dengan storm listrik (Murphy, 1949). Bekheterev juga berteori bahwa kebiasaan yang kompeks itu tersusun atas asosiasi-asosiasi refleks yang serupa.
Prosedur yang digunakan agar stimulus yang abru lambat laun mempunyai kekuatan menimbulkan respons-respons refleks dikenal sebagai kondisioning klasik. Penelitian-penelitian mengenai ini yang amat terkenal yang dilakukan oleh Ivan Pavlov; untuk penelitiannya ini ia menerima hadiah nobel tahun 1904. Pavlov mencatat, bahwa air liur binatang  itu sebelum disajikan daging kepada binatang percobaan tadi. Ia mulai meneliti peranan stimulus yang berlain-lainan dalam menimbulkan refleks pada binatang (Murphy, 1949).
Kondisonig klasik dipakai untuk memola konsep behaviorisme. Metodenya menyampingkan semua acuan pada keadaan mentaldan mulai pelaksanaannya. Demikianlah, tidak seperti halnya metode laboraorium trial and error Thorndike, kondisioning  memperlihatkan bahwa respons-respons behavioral itu dapat dimanipulasikan di dalam laboratorium. Artinya, stimulus baru dapat dibuar untuk menimbulkan refleks tertentu. Disitulah terletak harapan bahwa ilmu tentang tingkah-laku dapat dikembangkan didalam laboratorium psikologi.
Dalam suatu eksperimen yang sekarang menjadi terkenal, Watson berhasil mnkondisikan reaksi bayi takut seorang bayi usia 11 bulan, Albert, pada seekor tikus putih dan obyek-obyek berbulu lain. Ia menyimpulkan bahwa behaviorisme merupakan mekanisme yang dapat memberikan landasan hidup. Dalam gaya persuasifnya seperti bisanya Watson (1925) memberikan pernyataan tentang kebolehan kondisioning:
Berikan kepada saya selusin bayi yang sehat dan dalam keadaan baik, dengan lingkungan yang saya tentukan sendiri untuk mengasuhnya, saya jamin kalau saya mengambil secara acak maka saya akan melarihnya menjadi ahli apapun yang saya mau pilih—dokter, pengacara, seniman, pedagang – tak pandang bakatnya, kesukaannya, kecenderungannnya, kemampuannya, bakat khususnya, dan suku bangsa leluhurnya. (hlm. 65).
Tak perlu dikatakan lagi, segera saja behaviorisme menjadi populer. Metodenya yang sederhana untuk mengkondisioning respons dan barunya prosedur telah menyebabkan dilakukannyapenerapan-penerapan eksperimen-eksperimen dalam jumlah besar. Dalam tahun 1920-an, hampir setiap psikolog tampaknya adalah behavioris belaka dan rupanya tak seorangpun yang sependapat dengan lainnya (Boring,1950). Istilah “behaviorisme” menjadi lekat dengan beberapa perkembangan, termasuk penelitian tertentu, data obyektif pada umumnya, pandangan materialistik psikologi, dan sebagainya.
Watson juga percaya behaviorisme akan menempatkan psikologi dalam peringkat ilmu “sejati” bersama-sama dengan ilm binatang, fisiologi, ilmu kimia fisika, dan lain-lain. Pandangan yang sama mengenai potensi behaviorisme ini diulang oleh B. F. Skinner dalam tahun-tahun 1950-an.[6]

C.           Teori Belajar Pengkondisian Klasik dan Teori Belajar Operan

Ð Teori Belajar Pengkondisian Klasik
Satu diantara teori belajar conditioning tanpa penguatan adalah pengkondisian klasik (classical conditioning) atau pavlovianism mengikuti nama peletak dasar aliran ini, yaitu Ivan Petrovitch Pavlov(1849-1936). Eksperimen terkenal terhadap refleks dilakukan di laboratorium Ivan Pavlov. Kisah riset Pavlov memperlihatkan seorang ilmuwan kesepian yang secara tidak sengaja menemukan cara untuk mengontrol perilaku sederhana saat meneliti refleks keluarnya air luir anjing. Dia sendiri, demikian menurut kisahnya, menemukan bahwa reaksi tidak sengaja, keluarnya air liur, dapat dilatih untuk merespons suara yang tidak berhubungan dengan makanan. Tetapi, Pavlov sebenarnya bukan ilmuwan penyendiri. Dia memimpin beberapa laboratorium, yang menghasilkan lebih dari 530 riset dari 1897 hingga 1936. Sebagai direktur laboratorium, Pavlov memantau kerja mereka, namun dia sendiri jarang melakukan eksperimen (Todes, 1997; windholz, 1997).

Riset di Laboraturium Pavlov
Fokus dari riset yang diawasi oleh Pavlov adalah refleks air liur anjing. Selama jalannya riset, seorang mahasiswa periset menemukan bahwa “menggoda” anjing dari jarak jauh akan menimbulkan keluarnya air liur. Juga, makanan yang kering dan lembab yang dilihat anjing dari kejauhan akan menimbulkan air liur (Windholz, 1997, h 242). Pavlov pada mulanya menyebut reaksi air liur ini sebagai refleks yang dikondisikan.
Riset berkutnya oleh V.N. Boldyrev meemukan bahwa refleks air liur ini bisa dilatih untuk merespons (dikondisikan) objek-objek atau kejadian dari modalitas indrawi –suara, penglihatan, atau sentuhan  (Windholz, 1997). Misalnya, suara garpu diperdengarkan sebelum disajikan kepada anjing. Setelah beberapa kali penjajaran suara dan makanan, suara garpu saja sudah cukup untuk membuat air liur keluar.
Riset di laboratorium Pavlov ini penting karena dua sebab. Pertama, ia menunujukkan bahwa reaksi keluar air liur adalah refleks-reaksi spontan yang terjadi otomatis ketika menerima stimulus tertentu. Kedua, mengubah relasi alamiah antara stimulus dan reaksi itu dianggap sebagai terobosan penting dalam studi prilaku. Memanipulasi reaksi sederhana sekalipun sudah cukup untuk menunjukkan bahwa penyebab perilaku yang lebh komplek sangat mungkin untuk diketahui. Reaksi itu menunjukkanpotensi laboratorium dalam menemukan pengetahuan baru.[7]
Temuan Pavlov ialah bahwa sekali suatu respons dikondisikan, selanjutnya akan dihasilkan respons yang sama dengan yang diakibatkan oleh stimulus lain, seperti stimulus berkondisi. Pavlov menamakannya stimulus generalisasi. Dalam eksperimen selanjutnya sekali berlangsung kondisi bunyi lonceng, bunyi lonceng lain yang berbeda dari lonceng semula, juga akan menghasilkan respons air liur. Dari contoh tersebut bahwa bentuk tingkah laku itu dan banyak lagi yang ebrhasi karena melibatkan respons terkondisi.
Untuk pembelajaran luar sekolah, perlakuan pengkondisian kelas dapat dilaksanakan kepada warga belajar untuk mencapai hasil maksimal. Istilah pengkondisian kelas digunakan untuk membedakan tipe belajar yang dikembagkan oleh Pavlov dengan tipe belajar yang dikembangkan B.F Skinner. Kata classical itu digunakan untuk menghargai percobaan Pavlov yang didasarkan pada penelitian eksperimental orisinal dalam arti klasik (classic)  

Ð Teori Belajar Pengkondisian Operan
Hukum akibat yang menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dan respons akan menguat bila menimbulkan akibat memuaskan dan akan melemah bila sebaliknya, dikembangkan lebih lanjut dan secara mendalam oleh skinner dalam Operant Conditioning-nya .[8] Skinner memulai eksperimennya dengan menciptakan sebuah kotak (kemudian disebut kotak Skinner) dilengkapi sebatang balok yang dapat ditekan dan seuah talam berisi makanan. Ia kemudian memasukkan seekor tikus kelaparan kedalam kotak tersebut. Karena ingin melakukan sesuatu, tikus eksperimen mondar-mandir didalam kotak dan tiba-tiba menyentuh balok dan ternyata berhasil mengeuarkan butiran makanan yang terjatuh kedalam talam. Tikus eksperimen memperoleh pelajaran bahwa butir makanan akan keluar apabila balok ditekan. Tikun akan lebih sering menekan balok karena tingkah laku itu memberikan penguatan berupa keluarnya makanan. Tanpa menekan balok, butiran makanan berhenti keluar. Eksperimen dapat pula dilakukan dengan menghentikan keluarnya butiran makanan walaupun tikus menekan balok. Dengan demikian, tikus akan berhenti menekan balok. Tanpa penguatan, terjadi penghentian (extinction) kegiatan.
Dari uraian itu dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan antara classical conditioning dari Pavlov dan operant conditioning dari Skinner. Pada classical conditioning,  anjing eksperimen bersikap pasif hanya menunggu bunyi lonceng, sedang tikus eksperimen Skinner bersikap aktif, penguatan berupa butiran makanan keluar apabila tikus menyentuh (mengoperasikan) balok.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran pada hakikatnya serupa dengan prosedur pendekatan S-R. Fasilitator seseyogyanya berperan sebagai progamer, berusaha membentuk respons peserta belajar untuk menghasilkan perilaku akhir seperti yang telah ditetapkan sebagai tujuan pembelajaran.
Menurut Skinner, operant conditioning harus menggunakan efek penghargaan efek penghargaan dan hukuman. Prinsip dasar operant conditioning ialah perilaku ditentukan oleh konsekuensinya. Orang tidak bertingkah laku menurut kebiasaan acak, tetapi bertingkah laku untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Melalui pengalaman, tujuan lebih mungkin dicapai jika orang bertingkah laku menurut cara tertentu.

D.           Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.[9]
E.     Pengembangan Perilaku Perspektif Teori belajar Behavioristik
Prosedur-prosedur pengembangan tingkah laku baru
Di samping penggunaan reinforcement untuk memperkuat tingkah laku, ada dua metode lain yang penting untuk mengembangkan pola tingkah laku baru yakni shaping dan modelling.
         Shaping
Kebanyakan yang diajarkan di sekolah adalah urutan tingkah laku yang kompleks, bukan hanya “simple response”. Tingkah laku yang kompleks ini dapat diajarkan melalui proses “shaping” atau “successive approximations” (menguatkan komponen-komponen respon final dalam usaha mengarahkan subyek kepada respon final tersebut), beberapa tingkah laku yang mendekati respon. Bila guru membimbing siswa menuju pencapaian tujuan dengan memberikan reinforcement pada langkah-langkah menuju keberhasilan, maka guru itu menggunakan teknik yang disebut shaping. Reinforcement dan extinction merupakan alat agar terbentuknya tingkah laku operant baru.
Frazier dalam (Sri Esti,2006: 139) menyampaikan penggunaan shaping untuk memperbaiki tingkah laku belajar. Ia mengemukakan lima langkah perbaikan tingkah laku belajar murid antara lain:
ü  Datang di kelas pada waktunya.
ü  Berpartisipasi dalam belajar dan merespon guru.
ü  Menunjukkan hasil-hasil tes dengan baik.
ü  Mengerjakan pokerjaan rumah.
ü   Penyempurnaan.
Hasil dari lima komponen untuk memperbaiki tingkah laku menunjukkan bahwa kehadiran masuk sekolah bertambah setelah beberapa bulan. Yang lebih penting lagi ialah para siswa menjadi lebih bisa bekerja sama di kelas dan menggunakan waktu belajar mereka lebih efektif.
     Modelling.
Modelling adalah suatu bentuk belajar yang dapat diterangkan secara tepat oleh classical conditioning maupun oleh operant conditioning. Dalam modelling, seorang individu belajar menyaksikan tingkah laku orang lain sebagai model. Tingkah laku manusia lebih banyak dipelajari melalui modeling, sehingga kadang-kadang disebut belajar dengan pengajaran langsung. Pola bahasa, gaya pakaian, dan musik dipelajari dengan mengamati tingkah laku orang lain. Modelling dapat terjadi, baik dengan “direct reinforcement” maupun dengan “vicarious reinforcement”. Contohnya seseorang yang menjadi idola kita menawarkan produk tertentu di layar TV. Kita akan merasa senang jika bisa memakai produk serupa.
Sangat mungkin kita belajar meniru karena di-reinforced untuk melakukannya. Hampir sebagian besar anak mempunyai pengalaman belajar pertama termasuk reinforcement langsung dengan meniru model (orang tuanya). Hal yang biasa jika kita mendengar bahwa anak kita dengan bangga mengatakan, bahwa dia telah mengerjakan sebagaimana yang telah dikerjakan orang tuanya. Modelling juga dapat dipakai untuk mengajarkan keterampilan-ketrampilan akademis dan motorik.
Clarizio (1981) memberi contoh bagus tentang bagaimana guru menggunakan modelling untuk mengembangkan semangat murid-murid terhadap literatur bahasa Inggris. la memberi contoh membaca buku bahasa Inggris kadang-kadang tertawa terbahak-bahak, tersenyum, mengerutkan dahi dan sebagainya, untuk membangkitkan semangat anak terhadap buku itu.
Modelling bisa diterapkan di SEKOLAH dengan mengambil guru maupun orang lain atau anak lain yang sebaya sebagai model dari suatu tingkah laku, mungkin pelajaran akidah akhlak, Qur’an Hadits, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan lain-lain. Berkaitan dengan pengajaran keterampilan motorik dan akademis. Sekelompok siswa diajak ke suatu tempat di mana terdapat sesuatu yang bisa ditiru oleh anak atau menghadirkan model tersebut ke dalam kelas/ sekolah.




Prosedur-prosedur Pengendalian atau Perbaikan Tingkah Laku.
#      Memperkuat Tingkah Laku Bersaing
Dalam usaha merubah tingkah laku yang tak diinginkan diadakan penguatan tingkah laku yang diinginkan seperti dengan kegiatan – kegiatan kerjasama, membaca dan bekerja di satu meja untuk mengatasi kelakuan-kelakuan menentang, melamun, dan hilir mudik.
#           Ekstingsi
Ekstingsi ialah proses di mana suatu operant yang telah terbentuk tidak mendapat reinforcement lagi. Ekstingsi dilakukan dengan membuat/meniadakan peristiwa-peristiwa penguat tingkah laku. Ekstingsi dapat dipakai bersama-sama dengan metode lain seperti “modelling dan social reinforcement”.
#           Satiasi
Satiasi adalah suatu prosedur menyuruh seseorang melakukan perbuatan berulang-ulang sehingga ia menjadi lelah atau jera. Contoh: seorang ayah yang memergoki anak kecilnya merokok menyuruh anak merokok sampai habis satu pak sehingga anak itu bosan.
Krumboltz dan Krumboltz (1972) menyatakan jika tingkah laku yang diulang berbeda dengan tingkah laku yang tidak diinginkan maka satiasi tidak tepat. Yang tepat adalah menerapkan metode disiplin seperti menulis 100 kali. Guru sebaiknya mencoba memperkuat tingkah laku yang tepat untuk menggantikan tingkah laku yang tidak diinginkan.

Perubahan Lingkungan Stimuli
Beberapa tingkah laku dapat dikendalikan oleh perubahan kondisi stimuli yang mempengaruhi tingkah laku itu. Jika murid terganggu oleh suara gaduh di luar kelas, ketukan jendela dapat menghentikan gangguan itu. Jika suatu tugas yang sulit mengecewakan murid, maka guru dapat mengganti dengan tugas yang kurang begitu sulit. Jika di kelas ada dua orang murid yang termenung saja, guru dapat menghampiri atau duduk di dekat mereka.¬
Hukuman
Untuk memperbaiki tingkah laku, hukuman hendaknya dite¬rapkan di kelas dengan bijaksana. Hukuman dapat mengatasi tingkah laku yang tak diinginkan dalam waktu singkat, untuk itu perlu disertai dengan reinforcement. Hukuman menunjukkan apa yang tak boleh dilakukan murid, sedangkan reward menunjukkan apa yang mesti di¬lakukan oleh murid.
Bukti menunjukkan, bahwa hukuman atas kelakuan murid yang tak pantas lebih efektif daripada tidak menghukum.

Ada dua bentuk hukuman:
o   Pemberian stimulus derita, seperti: bentakan, cemoohan, atau ancaman.
o   Pembatalan perlakuan positif, seperti: mengambil kembali suatu mainan atau mencegah anak untuk bermain-main bersama teman-temannya.
Harus kita ingat dalam memberikan hukuman, bahwa hukuman sering tidak disetujui oleh kelompok teman sebaya. Sia-sialah guru menghukum seorang anak jika teman–temannya kelihatan tidak setuju terhadap hukuman itu. Hukuman hendaknya dilaksanakan Iangsung, secara kalem, diser¬tai reinforcement dan konsisten.
Langkah-langkah Dasar Modifikasi Tingkah Laku
Berikut ini adalah langkah-langkah bagi guru SEKOLAH dalam mengadakan analisa dan modifikasi tingkah laku pada peserta didik:
Mendefinisikan dan menyatakan secara operasional tingkah laku yang dapat diubah. Contoh, guru mendefinisikan dan menyatakan secara operasional tingkah laku yang akan diubah. Guru menulis tingkah laku khusus pada papan yang ditempelkan di kelas: (a) ”Saya akan tetap di tempat duduk, kecuali diberi izin untuk meninggalkannya” dan (b) ”Saya tidak akan bicara dengan teman dan gaduh selama mengikuti pelajaran.
Melakukan pengamatan terhadap frekuensi tingkah laku yang perlu diubah. Contohnya, berapa kali siswa meninggalkan tempat duduk dalam waktu satu jam atau selama pelajaran berlangsung? Guru kemudian membuat catatan rata-rata pelanggaran dari aturan yang dia buat. Dia mengacak 12 observasi yang dia lakukan selama 5 menit tiap hari dalam beberapa hari. Ditemukan bahwa rata-rata siswa meninggalkan tempat duduk 12 kali. Bicara dengan teman selama mengikuti pelajaran rata-rata 15 kali dalam satu hari. Dan sebagainya.
Menciptakan situasi belajar atau treatment sehingga terjadi tingkah laku yang diinginkan. Sebelum memulai reinforcement untuk tingkah laku yang tepat, cobalah periksa untuk menentukan apakah individu dapat mengatasi hambatan sehingga sampai pada tingkah laku yang diinginkan seperti dengan penataaan verbal atau dengan mengembangkan suatu situasi di mana tingkah laku yang kita inginkan itu barangkali terjadi. Contoh, “marilah anak-anak kita bersihkan masjid agar bisa kita pakai untuk sholat berjamaah.”
Mengidentifikasi “reinforcers” yang potensial. Suatu stimuli tidak diperkuat secara tepat. Selain itu, apakah diperkuat pada suatu waktu tidak akan diperkuat lagi. Contoh, guru menciptakan ‘menu’ dari reinforcement dengan meminta siswa untuk mengisi suatu survey reinforcement. Angket ini menanyakan tentang kegiatan yang mereka lakukan di kelas, makanan yang mereka sukai, barang-barang yang mereka sukai, dan lain-lain.
Memperkuat tingkah laku yang diinginkan, dan jika perlu menggunakan prosedur-prosedur untuk memperlemah tingkah laku yang tidak pantas. Contohnya, guru memberi system token kepada kelas. Ia menjelaskan bagaimana setiap siswa akan mendapatkan angka setiap kali guru ‘menangkap’ siswa mengikuti aturan kelas. Angka ini dicatat oleh guru pada kartu identitas dan kemudian akan dibagikan pada hari tertentu.
Menyusun rekaman/ catatan tingkah laku yang diperkuat untuk menentukan kekuatan-kekuatan atau frekuensi respon telah bertambah. Dengan membandingkan kemajuan pada waktu perlakuan (treatment) atau pada waktu belajar pada awal atau pada pertengahan belajar, kita akan tahu apakah kemungkinan reinforcement akan mempunyai dampak pada modifikasi tingkah laku. Jika reinforcement tidak berpengaruh pada tingkah laku, kita kemudian harus menentukan mengapa hal itu terjadi kemudian membuat penyesuaian. Seperti , guru berusaha menimalisir tingkah laku siswa yang tidak diinginkan agar pada gilirannya tingkah laku tersebut tidak muncul sama sekali.
Pengajaran Terprogram
Pengajaran terprogram menerapkan prinsip-prinsip “operant conditioning” bagi belajar siswa di sekolah. Pengajaran ini ber¬langsung seperti halnya paket pengajaran diri sendiri yang menyajikan suatu topik yang disusun secara cermat untuk dipelajari dan dikerjakan oleh murid. Tiap-tiap pekerjaan murid langsung diberi “feedback”. Program dapat tertuang dalam buku-buku, mesin-mesin meng¬ajar, atau komputer (Computer Asisten Instruction).
Pengajaran terprogram berusaha memajukan belajar dengan:
*      Memerinci bahan pelajaran menjadi unit-unit kecil.
*      Memaksa murid mereaksi unit-unit kecil itu.
*      Memberitahukan hasil belajar secara langsung, dan
*      Memberi kesempatan untuk bekerja sendiri.
Ada bermacam-macarn pengajaran terprogram, antara lain:
        Program linear: program ini dikembangkan oleh Skinner. Penyusun Program menentukan urut-urutan kegiatan murid untuk menyelesai¬kan program. Tiap bagian program berisi perincian kecil pengetahuan.
        Program intrinsik atau “branching program”: Program ini dikem¬bangkan oleh Croder. Dalam program ini respon-respon murid menentukan rute atau arah kegiatan murid-murid menentukan rute atau arah kegiatan murid itu. Rute-rute alternatif disebut “branches” yang merupakan prediktor-prediktor permasalahan yang akan memperbaiki respon murid, Crowder menggunakan peryataan-pernyataan pilihan ganda.
Dalam pengajaran terprogram ada tiga kelakuan pokok murid dalam belajar, yaitu review, under-lining, dan note taking. Beberapa kriteria terhadap metode peng¬ajaran terprogram, antara lain : kurang mengembangkan kreatifitas, kurang memberi pengalaman humanisasi, kurang memberi kesempatan untuk merespon dengan berbagai aktivitas.[10]


















BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
               Behaviorisme atau Aliran Perilaku (juga disebut Perspektif Belajar) adalah filosofi dalam psikologi yang berdasar pada proposisi bahwa semua yang dilakukan organisme — termasuk tindakan, pikiran, atau perasaan— dapat dan harus dianggap sebagai perilaku.
               teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.
               Kaum behavioris menekankan bahwa proses pemerolehan bahasa pertama dikendalikan dari luar diri si anak, yaitu oleh rangsangan yang diberikan melalaui lingkungan.
               Temuan Pavlov ialah bahwa sekali suatu respons dikondisikan, selanjutnya akan dihasilkan respons yang sama dengan yang diakibatkan oleh stimulus lain, seperti stimulus berkondisi. Pavlov menamakannya stimulus generalisasi. Untuk pembelajaran luar sekolah, perlakuan pengkondisian kelas dapat dilaksanakan kepada warga belajar untuk mencapai hasil maksimal. Istilah pengkondisian kelas digunakan untuk membedakan tipe belajar yang dikembagkan oleh Pavlov dengan tipe belajar yang dikembangkan B.F Skinner.
               Ada perbedaan antara classical conditioning dari Pavlov dan operant conditioning dari Skinner. Pada classical conditioning,  anjing eksperimen bersikap pasif hanya menunggu bunyi lonceng, sedang tikus eksperimen Skinner bersikap aktif, penguatan berupa butiran makanan keluar apabila tikus menyentuh (mengoperasikan) balok.
               Menurut Skinner, operant conditioning harus menggunakan efek penghargaan efek penghargaan dan hukuman. Prinsip dasar operant conditioning ialah perilaku ditentukan oleh konsekuensinya. Orang tidak bertingkah laku menurut kebiasaan acak, tetapi bertingkah laku untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Melalui pengalaman, tujuan lebih mungkin dicapai jika orang bertingkah laku menurut cara tertentu.
               Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah.
               Di samping penggunaan reinforcement untuk memperkuat tingkah laku, ada dua metode lain yang penting untuk mengembangkan pola tingkah laku baru yakni shaping dan modelling.
               Prosedur-prosedur Pengendalian atau Perbaikan Tingkah Laku, yakni : memperkuat tingkah laku bersaing, ekstingsi, satiasi
               Adapun langkah-langkah dasar modifikasi tingkah laku yaitu : mendefinisikan dan menyatakan secara operasional tingkah laku yang dapat diubah, melakukan pengamatan terhadap frekuensi tingkah laku yang perlu diubah, menciptakan situasi belajar atau treatment sehingga terjadi tingkah laku yang diinginkan, mengidentifikasi “reinforcers” yang potensial, memperkuat tingkah laku yang diinginkan, dan jika perlu menggunakan prosedur-prosedur untuk memperlemah tingkah laku yang tidak pantas, serta menyusun rekaman/ catatan tingkah laku yang diperkuat untuk menentukan kekuatan-kekuatan atau frekuensi respon telah bertambah.























DAFTAR PUSTAKA
Gredler, Margaret E, Learning and Instruction; Teori dan Aplikasi, Jakarta : Kencana, 2011
Zainal Arifin Ahmad, Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: 2010.
Nur, Rohmani Indah dan Abdurrahman, Psikolinguistik konsep & isu umum, Malang: UIN-Malang Press, 2008.
Gredler, Margaret E Bell, Belajar dan Membelajarkan, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada 1994.
Nazri Syakur, Proses psikolinguistik dalam pemerolehan bahasa, Yogyakarta: Bidang Akademik, 2008.




[1] Margaret E. Gredler, Learning and Instruction; Teori dan Aplikasi, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 43
[2] Zainal Arifin Ahmad, Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta, 2010)
[5] Rohmani Nur Indah dan Abdurrahman, Psikolinguistik konsep & isu umum, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hal. 93-94

[6] Margaret E Bell Gredler, Belajar dan Membelajarkan (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada 1994), hal 42-45
[7] Margaret E. Gredler, Learning and Instruction; Teori dan Aplikasi, (Jakarta : Kencana, 2011), hal. 43-46.
[8] Nazri Syakur, Proses psikolinguistik dalam pemerolehan bahasa, (Yogyakarta: Bidang Akademik, 2008)
[10] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar